Sikap hidup “urang awak” yang paling menonjol adalah kebiasaan merantau yang sudah menjadi darah daging sejak zaman dahulu kala.
Secara sederhana merantau adalah meninggalkan kampung halaman/daerah asal untuk mencari dan memperjuangkan hidup yang lebih baik di daerah lain yang diperhitungkan cukup menjanjikan untuk tujuan dasar merubah kehidupan tersebut.
Kalau benar bahwa nenek moyang orang Minang berasal dari kawasan Dongsan di Indochina berabad-abad yang silam, berarti tindakan merantau mereka yang pertama dulu itu mungkin lebih bersifat “bedol desa” atau migrasi secara bertahap yang berlangsung selama beberapa tahun atau dekade.
Dipastikan mereka belum mengenal terminologi “migrasi”, “transmigrasi”, “hijrah”, atau “manusia perahu” pada masa itu. Pelayaran awal ini dapatlah pula diperkirakan tidak sama dengan pelayaran Cheng Ho yang punya latar belakang politik, budaya, dan ekonomi, dan di back up oleh pasukan terlatih dalam suatu armada yang terdiri dari ratusan kapal.
Perbandingan tersebut guna membedakan bahwa merantau awal ini bukanlah suatu ekspedisi militer untuk tujuan penaklukkan atau penjajahan, karena ternyata mereka mendarat di pantai Sumatera, menelusur aliran sungai ke arah hulu, dan membuka (manaruko) hutan belantara dan menjadikannya perladangan/persawahan di kawasan yang dinilai potensial untuk bertani.
Inilah pionir-pionir awal yang semangatnya mungkin setara atau malah mengalahkan pionir dari Eropah yang membuka “wild-west” nya Amerika dengan warna kekerasan tersendiri (pengusiran penduduk asli Indian, penggunaan tenaga kera budak, cowboy dengan pistol di pinggang, dll.).
Semangat merantau awal ini ternyata “keterusan” pada generasi-generasi berikutnya……
sampai hari ini.
Semangat ini sangat luar biasa. Kalau di buku bacaan Sekolah Rakyat (SD jadul) orang yang pergi merantau ini digambarkan sebagai seorang anak yang membawa buntelan dari kain sarung yang membungkus perlengkapan minimalnya, dan dipikul dengan sebuah tongkat yang dipanggul di bahu.
Nasihat bagi perantau muda Minang ini dinyatakan dalam pantun yang menunjukkan strategi pertama kalau mereka sampai di daerah tujuan mereka : “…………..sanak cari saudara cari, induk semang cari dahulu”.
Ini luar biasa, karena inilah yang menjadi dasar suksesnya hijrah Rasulullah ke Madinah : adanya kaum “Anshor” yang akan menjadi pelindung awal. Inilah juga salah satu fungsi sang induk semang.
Disamping itu pengertian “induk semang” dapat juga diartikan sebagai : carilah pekerjaan dahulu dengan Boss yang bersikap melindungi. Merantau dimulai dengan sikap mental dan pembinaan etos kerja yang benar (supaya disayang oleh sang induk semang).
Merantau zaman sekarang sudah sangat dipermudah dengan kemudahan transportasi , kondisi ekonomi yang relatif lebih baik, dan sudah banyaknya “sanak & saudara” di rantau yang akan dituju.
Tujuan merantaupun sudah beragam pula, mulai dari melanjutkan pendidikan, mengadu nasib di negeri orang, atau diajak anak/menantu bagi mereka yang lansia. Zaman dulu tentunya perantau “lansia” ini sangat minim.
Semangat merantau yang tak pernah surut inilah yang tampaknya merubah struktur dan komposisi yang disebut “urang awak” masa kini, dan kondisi kampung halaman yang sering dikeluhkan sebagai “tertinggal”.
Pertama, sebagian terbesar balita, kanak-kanak, remaja, professional, sampai pada kaum lansia, yang hari ini ada di ranah Minang pada hakekatnya adalah calon potensial yang “sooner or later” akan berstatus menjadi “urang rantau” pula.
Secara kasat mata sekarang dapat dilihat bahwa seseorang yang tamat SMP, atau SLA, atau perguruan tinggi, atau pegawai, atau pengusaha, atau pengamat politik, atau lansia, atau siapapun , dapat saja setiap saat meninggalkan ranah Minang dan menetap di daerah lain dengan bermacam sebab dan pertimbangan.
Terjadi “brain drain” ? Ya, mulai dari “brain” yang sudah jadi sampai para calon-calon “brain” yang potensial untuk berkembang lebih lanjut (!).
“Urang awak” ada dimana-mana sekarang, di seluruh pelosok Indonesia dan bahkan pelosok dunia, dengan bidang kiprah yang sangat variatif, dan sangat banyak yang “jadi orang” di rantau masing-masing.
Di Institusi atau organisasi di ranah Minang sendiri proses kaderisasi masih terjamin dapat berlangsung. Tapi di dalam kehidupan masyarakat, proses kaderisasi ini sudah lama tampak tersendat akibat generasi muda yang secara berkesinambungan terus mengalir berangkat merantau. Nagari-nagari kehabisan kader orang muda untuk menjadi pimpinan Nagari, penghulu, dan organisasi lainnya di level Nagari.
Kedua, para urang awak yang di rantau ini, atau yang juga sering disebut sebagai urang rantau ini, ada yang beristeri/suamikan orang Minang, tapi juga banyak yang kawin dengan orang non Minang, atau malahan non Indonesia.
Karena proses merantau sudah berlangsung selama lebih dari seratus tahun, perkawinan silang dengan suku atau bangsa ini tentunya sudah berlangsung selama beberapa generasi pula. Status dan kadar “keminangan” pun jadi bermacam-macam kalau diikuti aturan adat Minang yang matrilineal.
Dapatlah difahami bahwa pengetahuan dan pemahaman urang rantau terhadap adat Minangpun juga menjadi sangat bervariasi.
Bagi mereka yang relatif baru dalam merantau hubungan dengan kampung halaman dan adat istiadat ini tentunya tidak ada masalah.
Tapi bagi yang lahir atau sudah beberapa generasi di rantau, kondisinya akan sangat berbeda.
Pepatah menyangkut teknik beradaptasi : ’di kandang kambing mengembik, di kandang kabau menguak”, atau “dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” memang merupakan modal utama dalam merantau. Tapi apa akibatnya ? Si perantau sendiri ataupun anggota keluarganya bisa saja kemudian menjadi lupa dengan “akar”nya. Ini kondisi yang sangat manusiawi dan sangat dapat difahami.
Banyak dari urang rantau masa kini yang sudah tidak lagi dapat berbahasa Minang, atau tidak memahami adat Minang, atau belum pernah melihat ranah Minang. Yang mereka ketahui bahwa mereka adalah “orang Padang” karena salah satu orang tuanya (tidak perduli ayah atau ibu) berasal dari ranah Minang.
Dengan kondisi umum yang diuraikan diatas, dapatlah difahami jika terdapat spektrum yang sangat lebar dalam pola pikir, pola hidup atau pola tindak antar yang disebut sebagai “urang awak” yang berada di rantau, apalagi antara yang berada di rantau dengan sebagian dari mereka yang berada di ranah (walau sebenarnya dengan kemudahan sarana transportasi yang terkait dengan mobilitas yang tinggi, sebagian dari yang menetap di ranah sebenarnya secara rutin atau periodik sudah biasa pula bolak balik bepergian ke luar ranah, yang membuat merekapun sudah menjadi setengah perantau pula).
Apa yang kemudian terjadi ? Mereka yang memahami adat istiadat akan mengatakan bagaimana telah sangat menyimpangnya sebagian besar ‘urang awak’ dari adat istiadat Minang yang luhur.
Mereka yang pernah merasakan hidup di surau mengatakan bahwa dengan sudah tidak adanya kehidupan surau sebagaiman di masa silam, banyak terjadi dekadensi moral di kalangan anak muda Minang.
Mereka yang pernah hidup di zaman Belanda akan mengatakan betapa “normal”nya hidup di zaman yang disebut “ zaman normal” tersebut.
Sebagian mendambakan kembalinya sistim pemerintahan yang benar-benar sesuai dengan sistim yang ditetapkan oleh Dt. Perpatih dan Dt Ketemanggungan di masa yang silam.
Sebagian pula mendambakan adanya kembali kerajaan Pagaruyung di ranah Minang dengan raja, kaum bangsawan, dan lambang-lambang kemuliaan lainnya.
Sebagian ada pula yang mempertanyakan kenapa generasi Minang sekarang tidak lagi sehebat generasi tua dulu yang punya nama harum di blantika Nasional & Internasional.
Sebagian perantau kemudian ada pula yang membandingkan “symbol-simbol fisik kemajuan” yang dilihatnya di tempat dia merantau dengan kondisi di ranah Minang, dan kemudian mengatakan “kita tertinggal” karena tidak/belum memiliki “simbol-simbol fisik ” tersebut.
Sebaliknya ada pula yang mengatakan bahwa kondisi sekarang sudah lumayanlah, karena di ranah Minang pun sudah ada supermall, waterboom dimana-mana, hot-spot pun sudah ada di kota tertentu, dan sudah banyak pula wisman yang berselancar di Mentawai. Tapi, pernahkah kita bertanya tentang bagaimana pula persepsi generasi Minang masa kini, baik yang di ranah ataupun yang di rantau, tentang kampung halaman dan problematikanya ini ?
Sebagian besar tidak memahami “ABS-SBK” yang sering diperdebatkan orang, tidak memahami atau menghayati kehidupan surau masa lalu itu, mereka lebih faham “trias politika” daripada “tigo tungku sajarangan” atau “tigo tali sapilin”, tidak bisa merasakan atau melihat “ketertinggalan” karena baru sekali dua kali atau malahan belum pernah sama sekali melihat ranah Minang, tidak bisa mengerti kenapa Jam Gadang harus disarungi pada malam old & new 2008/2009 dan apa pula hubungannya dengan maksiat, heran dengan tatanan matrilineal , dan terpana mendengar bahwa ternyata sekarang sudah ada pula kerajaan dan istana di Pagaruyung, heran dengan ortunya yang begitu asyik membaca dan ikut berkomentar dalam milis RantauNet yang bagi dia sangat “boring” itu, dan lain-lain, dan lain-lain.
Salahkah mereka ini ?
Salahkah orang tua Minang dan lingkungannya di Jakarta, Surabaya, Palembang, Frankfurt, New York, atau London ?
Salahkah “mamak”nya yang umpamanya sedari kecil hidup di kota Malang, karena tidak mendidik kemenakannya ini tentang adat Minang yang dia sendiripun mungkin sudah lupa ?
Salahkah mereka kalau kurang berminat untuk “pulkam” melihat pula negerinya yang cantik jelita ?
Pernahkah kita bertanya kenapa mereka lebih senang berlibur ke Bali atau tempat lain di Indonesia atau luar negeri. Harus diingat bahwa sebagian besar dari mereka tidak punya kenangan/nostalgia di ranah Minang.
Kalau kelompok Minang “puritan” bersikap menyalahkan mereka, ikatan mereka dengan ranah Minang yang memang sudah sangat tipis akan cenderung putus sama sekali. Sebagian dari mereka kemudian akan menjadi semacam “lost generation” bagi Minangkabau secara menyeluruh.
Kalau syarat untuk menjadi seorang Minang yang baik mereka anggap “ribet banget”, mereka secara sangat gampang akan memilih jadi orang Indonesia saja atau orang suku “X” yang merupakan suku salah satu orang tuanya.
Kita sendiri dari generasi yang lebih tua dari sekarang sudah harus fully aware bahwa generasi kita yang merasa benar-benar Minang ini dalam 20 tahun mendatang akan berangsur “ditarik dari peredaran” oleh Yang Maha Kuasa.
Generasi merekalah yang akan merupakan bagian terbesar “urang awak” masa yang akan datang.
Tidak inginkah kita agar mereka juga punya “sense of belonging” terhadap ranah Minang ?
Atau apakah sejarah akan berulang kembali, dimana urang awak masa kinipun praktis sama sekali sudah tidak mengenal Dongsan karena sejak lama sudah memang sudah terlupakan. Akankah sejarah kemudian berulang dimana akan sampai pula suatu zaman dimana urang awak yang berserak di rantau hanya bisa bercerita bahwa khabarnya mereka berasal dari suatu negeri di Sumatera yang dulu bernama ranah Minang ?
Semogalah ini tidak terjadi.
Aspirasi urang rantau generasi masa kini ini sudah harus diupayakan untuk ditangkap, dipelajari, dan difahami. Suara mereka harus pula didengar karena merekalah bagian terbesar urang awak masa depan.
Komunikasi lintas generasi urang awak ini tampaknya sudah harus dibuka, melalui berbagai media yang tersedia seperti website, mailing list, atau blog-blog pribadi yang bertaburan di dunia maya, yang dapat digunakan sebagai ajang tukar pendapat dan urun-rembug yang efektif.
Banyak dari mereka adalah kaum professional yang berkiprah di berbagai bidang, di dalam dan di luar negeri. Sangat banyak generasi muda Minang yang merupakan professional di bidang pertanian, banyak pula yang latar belakang pendidikannya adalah bidang pariwisata dari lembaga pendidikan yang tergolong baik, praktisi di bidang industri kecil, serta orang yang memiliki network yang luas dalam berbagai bidang.
Sejumlah problematika ranah Minang sebenarnya menarik minat mereka, tapi bukan problematika yang berorientasi ke masa lalu, melainkan yang berorientasi pada masa depan ranah Minang.
Marilah mereka mulai dilibatkan dalam pembahasan terbuka atas berbagai topik yang menyangkut masa depan ranah Minang. Kita buka telinga dan hati kita untuk mendengarkan pendapat mereka dengan sabar dan rasa toleransi yang besar. Kalau boleh pakai istilah Jawa : “wongke” lah mereka, yang arti harfiahnya “anggaplah mereka sebagai orang”. Tugas para senior adalah membimbing dan memberi pencerahan dengan cara yang bijaksana.
Kalau urang rantau masa kini ini dapat dirangkul dan diajak berjalan bersama dalam membangun ranah Minang, gabungan seluruh kekuatan lintas generasi yang tersebar di seluruh pelosok dunia ini benar-benar akan merupakan kekuatan yang dahsyat.
di kutip: dari: kadaikopi.com
- Home
- news
- seputar minang
- Generasi Minang Masa Kini
Related Posts
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Comments