Segala puji hanya milik Allah semata, shala-wat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada hamba dan
utusanNya, yaitu Nabi Muhammad, keluarga dan para shahabatnya. Amma ba'du:
Berikut ini adalah uraian singkat tentang sifat (tata cara) shalat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi
wasallam . Penulis ingin menyajikannya kepada setiap muslim, baik laki-laki ataupun perempuan, agar
siapa saja yang membaca-Nya dapat bersungguh-sungguh dalam mencontoh (berqudwah) kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam. di dalam masalah shalat, sebagaimana sabda beliau:
"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat." (HR. Al-Bukhari).
Kepada para pembaca, berikut ini uraiannya:
(Seseorang yang yang hendak melakukan shalat) hendaknya berwudlu sebagaimana yang diperintahkan
Allah; sebagai peng-amalan terhadap firmanNya:
"Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak melakukan shalat, maka cucilah muka
kalian, kedua tangan kalian hingga siku, dan usaplah kepala kalian, dan (cucilah) kedua kaki kalian
hingga kedua mata kaki..." (Al-Ma'idah: 6).
dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
"Tidak diterima shalat tanpa bersuci dan shadaqah dari penipuan." (HR. Muslim ).
Dan sabdanya kepada orang yang tidak betul shalatnya:
"Apabila kamu hendak melakukan shalat, maka sempurnakanlah wudhu".
2. Menghadap ke kiblat:
Yaitu Ka'bah, di mana saja ia berada dengan seluruh tubuhnya (secara sempurna), sambil berniat di
dalam hatinya untuk melakukan shalat sesuai yang ia inginkan, apakah shalat wajib atau shalat sunnah,
tanpa mengucapkan niat tersebut dengan lisannya, karena mengucapkan niat dengan lisan itu tidak
dibenarkan (oleh syara'), bahkan hal tersebut merupakan perbuatan bid'ah. Sebab Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah melafadzkan niat begitu juga para sahabat. Disunnahkan
meletakkan sutrah (pembatas) baik sebagai imam atau shalat sendirian karena demikian itu termasuk
sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Shalat harus menghadap kiblat sebab tidak sah shalat seseorang jika tidak menghadap kiblat kecuali
dalam kondisi tertentu yang telah banyak dijelaskan dalam kitab-kitab fikih.
3. Takbiratul ihram dengan mengangkat ke-dua tangan hingga sejajar dengan pundak
sambil mengucap Allahu Akbar lalu mengarahkan pandangan ke tempat sujud.
4. Mengangkat kedua tangan di saat bertak-bir hingga sejajar dengan kedua pundak
atau sejajar dengan kedua telinganya.
5. Meletakkan kedua tangan di atas dada-nya,
Yaitu dengan meletakkan tangan kanan pada punggung tangan kiri, atau pada pergelangan tangan kiri,
atau pada lengan tangan kiri, karena hal tersebut ada haditsnya, (seperti) hadits yang bersumber dari
Wa'il bin Hujr dan Qubaishah bin Hulb Al-Tha'iy yang ia riwaratkan dari ayahnya radhiyallahu 'anhu.
6. Disunnahkan membaca do'a istiftah:
"Ya Allah, jauhkanlah antaraku dengan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau telah
menjauhkan antara timur dan barat; Ya Allah, sucikanlah aku dari kesalahan-kesalahanku
seba-gaimana pakaian putih disucikan dari segala kotoran; Ya Allah, bersihkanlah aku dari
kesa-lahan-kesalahanku dengan air, es dan salju" (Muttafaq 'alaih yang bersumber dari Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam).
Boleh juga membaca do'a yang lain sebagai gantinya, seperti:
" Maha Suci Engkau, Ya Allah, dengan segala puji bagiMu, Maha Mulia NamaMu, dan Maha Tinggi
kemuliaanMu, tiada Tuhan yang yang berhak disembah selain Engkau".
Karena do'a ini ada dalil shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan diperbolehkan membaca
do'a istiftah lain dari keduanya yang ada dalil shahihnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Namun yang lebih afdhal (utama) adalah pada suatu saat membaca do'a istiftah yang pertama dan pada
saat yang lain membaca yang kedua atau yang lainnya yang ada dalil shahihnya, karena yang demikian
itu lebih sempurna dalam ber-ittiba' (mencontoh Rasu-lullah shallallahu 'alaihi wasallam).
Kemudian membaca:
"Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk " "Dan dengan nama Allah Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang".
Dan dilanjutkan dengan membaca Surat Al-Fatihah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam:
"Tidak syah shalat seseorang yang tidak membaca Surat Al-Fatihah ", dan sesudah itu membaca "Amin"
secara jelas (nyaring) dalam shalat jahriyah, dan sirr (tersembunyi) dalam shalat sirriyah.
Kemudian membaca ayat-ayat Al-Qur'an, dan diutamakan bacaan dalam shalat Zhuhur, Ashar dan Isya'
dari surat-surat yang agak panjang, dan pada shalat Shubuh surat-surat yang panjang, sedangkan pada
shalat Maghrib surat-surat pendek dan pada suatu saat boleh juga membaca surah yang panjang atau
setengah panjang, maksudnya pada shalat Maghrib, sebagaimana yang diriwayatkan dari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam. Dan pada shalat Ashar hendaknya membaca surat yang lebih pendek dari
pada bacaan shalat dzuhur
7. Ruku' sambil bertakbir dan mengangkat kedua tangan hingga sejajar
dengan kedua pun-dak atau kedua telinga, dengan menjadikan kepala sejajar dengan punggung dan
meletakkan kedua tangan pada kedua lutut dengan jari-jari terbuka sambil thuma'ninah di saat ruku' dan
mengucapkan:
"Maha suci RabbKu Yang Maha Agung"
Dan lebih diutamakan membacanya tiga kali atau lebih, dan di samping itu dianjurkan pula membaca:
"Maha Suci Engkau, Wahai Rabb kami dan dengan segala puji bagiMu, Ya Allah, ampunilah aku".
8. Mengangkat kepala dari ruku',
sambil mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan kedua pundak atau kedua telinga
sambil membaca:
"Semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya".
baik sebagai imam atau shalat sendirian. Lalu di saat berdiri mengucapkan:
"Wahai Rabb kami, milikMu segala pujian sebanyak-banyaknya lagi baik dan penuh berkah, sepenuh
langit dan bumi, sepenuh apa yang ada di antara keduanya dan sepenuh apa saja yang Engkau
kehendaki kelak".
Dan jika ditambah lagi sesudah itu dengan do'a:
" Pemilik puja dan puji, ucapan yang paling haq yang diucapkan oleh seorang hamba; dan semua kami
adalah hamba bagiMu; Ya Allah, tiada penghalang terhadap apa yang Engkau berikan, dan tiada yang
dapat memberikan terhadap apa yang Engkau halangi, tiada berguna bagi orang yang memiliki
kemuliaan, karena dariMu lah kemuliaan".
Maka hal tersebut baik, karena yang demikian itu ada dasarnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
dalam beberapa hadits shahih.
Adapun jika ia sebagai ma'mum, maka di saat mengangkat kepala membaca:
"Wahai Rabb kami, milikMu lah segala puji-an"... hingga akhir bacaan di atas.
Dan dianjurkan meletakkan kedua tangannya di atas dadanya, sebagaimana yang ia lakukan pada saat
berdiri sebelum ruku', karena keshahihan hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang
menunjukkan demikian, yaitu hadits yang bersumber dari Wa'il bin Hujr dan Sahal bin Sa'ad
radhiyallahu 'anhu.
9. Sujud sambil bertakbir dengan meletak-kan kedua lutut sebelum kedua tangan, jika hal tersebut
memungkinkan. Dan jika tidak, maka men-dahulukan kedua tangan sebelum kedua lutut, sambil
menghadapkan jari-jari kedua telapak kaki dan jari jari kedua telapak tangan ke qiblat, dengan posisi
jari-jari telapak tangan rapat. Dan sujud di atas tujuh anggota tubuh, yaitu dahi bersama hidung, kedua
telapak tangan, kedua lutut dan ujung jari kedua telapak kaki, sambil membaca do'a:
"Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi." tiga kali atau lebih:
Dianjurkan pula membaca:
"Maha Suci Engkau, Ya Allah Rabb kami, dengan segala puji bagiMu. Ya Allah ampunilah aku ".
Dan memperbanyak do'a, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
"Adapun ruku', maka agungkanlah Tuhan pada saat itu, dan adapun sujud, maka
bersungguh-sungguhlah kalian dalam berdo'a, sebab layak untuk diterima bagi kalian."
Dan juga sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam:
" Posisi terdekat seorang hamba dari Tuhannya adalah di saat ia sedang sujud, maka dari itu
perbanyaklah do'a."
Kedua hadis tersebut diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahihnya.
Hendaknya (diwaktu sujud) ia memohon kepa-da Tuhannya kebaikan dunia dan akhirat untuk dirinya
dan untuk orang lain dari kaum muslimin, baik itu dalam shalat wajib maupun dalam shalat sunnah.
Dan (diwaktu sujud) hendaknya mereng-gangkan kedua lengan tangan dari kedua lambung dan perut
dari kedua pahanya sambil mengangkat kedua hasta/lengah tangannya dari tanah, sebab Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
" Tegak luruslah kalian di saat sujud dan jangan ada seorang dari kalian meletakkan kedua lengan
tangannya seperti anjing meletakkan kedua lengan tangannya." (Muttafaq 'alaih).
10. Mengangkat kepala sambil bertakbir,
bertumpu pada kaki kiri dan mendudukinya, sedang-kan kaki kanan ditegakkan, meletakkan
kedua tangan di atas ujung kedua paha dan kedua lutut, lalu mem-baca:
"Wahai Rabbku, ampunilah aku; wahai Rabbku, ampunilah aku; wahai Rabbku, ampunilah aku. Ya
Allah, ampunilah aku, belas kasihilah aku, berilah aku petunjuk, berilah aku rizki, berilah aku
kesehatan dan tutupilah kekuranganku."
Hendaknya thuma'ninah (berhenti sebentar) di waktu duduk, hingga setiap persendian benar-benar
berada pada posisinya, sebagaimana di saat ia berdiri i'tidal sebelum ruku', karena Nabi shallallahu
'alaihi wasallam memanjangkan (waktu) i'tidalnya sesudah ruku' dan ketika duduk di antara dua sujud.
11. Sujud yang kedua sambil bertakbir,
dalam melakukannya sebagaimana ia melakukan pada sujud pertama.
12. Mengangkat kepala (bangun) sambil bertakbir,
dan duduk sejenak seperti duduk antara dua sujud. Ini disebut duduk istirahat, hukumnya sunnah
menurut pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat para ulama, dan jika ditinggalkan maka tidak
apa-apa. Dan pada duduk ini tidak ada bacaan atau pun do'a.
Lalu bangkit dan berdiri untuk melakukan raka'at yang kedua dengan bersanggah pada kedua lutut jika
memungkinkan, dan jika tidak memung-kinkan, maka bersanggah kepada kedua tangan di atas lantai,
kemudian membaca Al-Fatihah dan sete-rusnya seperti apa yang dilakukan pada raka'at yang pertama.
Tidak boleh bagi seorang ma'mum menda-hului imam, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
melarang umatnya dari tindakan seperti itu, demikian juga dibenci memba-rengi imam. Sunnahnya bagi
ma'mum, gerakan-gerakannya harus sesudah gerakan-gerakan imam-nya dengan tidak berbarengan, dan
harus setelah terhentinya suara imam, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
" Sesungguhnya imam itu dijadikan sebagai imam agar diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya,
oleh karena itu, jika ia bertakbir maka bertakbirlah kalian, dan jika ia ruku' maka ruku'lah kalian, dan
apabila ia membaca: "Sami'allahu liman hamidah", maka bacalah: "Rabbana wa lakal-hamdu", dan
apabila ia sujud, maka sujudlah kalian" (Muttafaq 'alaih).
Jika shalat itu adalah shalat dua raka'at, seperti shalat Subuh, shalat Jum'at dan shalat 'Id, maka
duduk iftirasy setelah bangkit dari sujud kedua, yaitu dengan menegakkan kaki kanan, dan bertumpu
pada kaki kiri, tangan kanan diletakkan di atas paha kanan dengan menggenggam semua jari kecuali jari
telujuk untuk berisyarat kepada tauhid di saat meng-ingat Allah shallallahu 'alaihi wasallam dan
berdo'a. Jika jari manis dan jari kelingking tangan kanan digenggamkan, sedangkan ibu jari dibentuk
lingkaran dengan jari tengah dan berisyarat dengan jari telunjuk, maka hal tersebut sangat baik sekali,
karena kedua cara tersebut ada di dalam hadits shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan
afdhalnya melakukan cara yang pertama pada suatu saat dan cara yang kedua pada saat yang lain.
Sedangkan tangan kiri diletakkan di atas (ujung) paha kiri dan lutut; lalu membaca Tasyahhud, yaitu:
Kemudian dilanjutkan dengan membaca:
Lalu memohon perlindungan kepada Allah dari empat hal dengan membaca:
Kemudian berdo'a, memohon kepada Allah untuk kebaikan dunia dan akhirat. Dan apabila berdo'a
untuk kedua orang tua atau untuk kaum muslimin, maka dibolehkan, baik di waktu shalat wa-jib
ataupun shalat sunnah, berdasarkan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dari Ibnu Mas'ud
radhiyallahu 'anhu ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya Tasyahhud, beliu bersabda:
"Kemudian hendaknya ia memilih do'a yang lebih disukai, lalu berdo'a"
Do'a yang disebutkan dalam hadist di atas men-cakup semua apa saja yang berguna bagi seseorang
dalam kehidupan dunia dan akhirat. Setelah itu memberi salam dengan menoleh ke kanan dan salam
dengan menoleh ke kiri, seraya mengucapkan:
14. Jika shalat yang dikerjakan adalah tiga raka'at, seperti shalat Maghrib, atau empat raka'at,
seperti shalat Zhuhur, 'Ashar dan Isya', maka hendak-nya ia membaca tasyahhud tersebut di atas
dengan membaca shalawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian bang-kit dengan
bersanggah kepada kedua lututnya, sambil mengangkat kedua tangan sampai sejajar dengan kedua
pundak dan membaca Allahu Akbar, lalu mele-takkan kedua tangan di dada sebagaimana diterang-kan
di atas kemudian membaca Al-Fatihah saja.
Jika ia membaca surah atau ayat pada raka'at ketiga dan keempat dalam shalat dzuhur sesudah
al-Fatihah pada saat-saat tertentu, maka tidak apa-apa. Karena ada hadits shahih yang menunjukkan hal
tersebut dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang bersumber dari Abu Sa'id radhiyallahu 'anhu.
Dan jika tidak membaca shalawat pada tasyah-hud pertama, maka tidak apa-apa, karena hukumnya
sunnah, tidak wajib dalam tasyahhud awal. Kemudian membaca tasyahhud setelah raka'at ketiga pada
shalat Maghrib, dan setelah raka'at keempat dari shalat Zhuhur, Ashar dan Isya', berikut dengan
shalawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam , dan memohon perlindungan kepada Allah dari
empat perkara yang disebutkan di atas (adzab Neraka Jahannam, siksa kubur, fitnah kehi-dupan dan
kematian dan dari kejahatan fitnah Dajjal), lalu perbanyak berdo'a.
Dan di antara do'a yang diajarkan pada akhir tahiyyat (tasyahhud) dan juga dalam
kesempatan-kesempatan lainnya adalah:
" Ya Rabb kami, karuniakan kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah
kami dari adzab api Neraka".
Karena ada hadits shahih yang bersumber dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
Kebanyakan dari do'a-do'a Nabi shallallahu 'alaihi wasallam itu adalah Rabbana atina fiddunya
hasanah wafil akhirati hasanah wa qina adzaban nar.
Sebagaimana telah disebutkan di atas dalam shalat yang dua raka'at, hanya saja posisi duduk saat ini
adalah duduk tawarruk, yaitu duduk dengan meletakkan telapak kaki kiri di bawah betis kaki kanan dan
kemudian mendudukkan pantat di atas tanah, sedangkan kaki kanan tegak, berdasarkan hadits yang
bersumber dari Abu Humaid. Kemudian memberi salam ke kanan sambil mengucapkan:
kiri seraya mengucapkan:
Sehabis itu beristighfar (memohon ampun) kepada Allah tiga kali, membaca:
dan salam ke
"Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Selamat dan dariMu-lah keselamatan, Maha Suci Engkau, wahai
Tuhan Pemilik keagungan dan kemulia-an; tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata,
tiada sekutu bagiNya, milikNya lah kerajaan, dan milikNya-lah segala pujian, dan Dia Maha Kuasa
atas segala sesuatu; tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Ya Allah, tiada yang dapat
menghalangi terhadap apa yang Engkau berikan, dan tiada yang dapat memberi terhadap apa yang
Engkau halangi, tidaklah bermanfaat kemuliaan bagi pemiliknya kecuali kemuliaan itu dari Engkau.
Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan kami tidak menyembah kecuali hanya kepadaNya;
kepunyaanNya lah kenikmatan dan milikNya lah karunia, dan bagiNya-lah sanjungan yang baik, tiada
tuhan yang berhak disembah selain Allah, dengan tulus ikhlas tunduk kepadaNya sekalipun
orang-orang kafir tidak suka".
Kemudian bertasbih (mengucapkan Subhanallah ) sebanyak 33 kali, memuji Allah (mengucapkan
Alhamdulillah) 33 kali dan bertakbir (mengucapkan Allahu akbar) 33 kali, serta digenapkan menjadi
seratus dengan mengucapkan:
"Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagiNya, kepunyaan-Nya-lah
kerajaan, dan milikNya-lah segala pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu".
Lalu membaca ayat Kursi, Surat Al-Ikhlash, surat Al-Falaq dan Surah An-Nas pada setiap kali selesai
shalat. Dan dianjurkan (disunnahkan) meng-ulang tiga surat tersebut sebanyak 3 kali setelah selesai
shalat Maghrib dan shalat subuh, berdasarkan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
yang menganjurkan tentang hal itu, begitu pula dianjurkan (disunnahkan) menambah dzikir tersebut di
atas, terutama setelah shalat Maghrib dan shalat Subuh dengan dzikir berikut 10 kali:
"Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagiNya, kepunyaan-Nya-lah
kerajaan, dan milikNya-lah segala pujian, Dia menghidupkan dan mematikan dan Dia Maha Kuasa
atas segala sesuatu".
Semua itu berdasarkan hadits shahih dari Rasu-lullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Jika ia sebagai imam, maka hendaknya berbalik menghadap para ma'mum sesudah beristighfar 3 kali
dan mengucapkan:
"Ya Allah, Engkau Yang Maha selamat dan dariMu lah keselamatan, Maha Tinggi lagi Maha Suci
Engkau, wahai Pemilik keagungan dan kemuliaan".
Kemudian membaca dzikir-dzikir sebagaimana tersebut di atas, yang banyak disebutkan dalam
hadits-hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, di antaranya adalah hadits shahih yang dari 'Aisyah
radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Semua dzikir di atas hukumnya sunnah,
tidak wajib.
Disunnahkan pula bagi setiap muslim, baik laki-laki atau perempuan shalat sunnah 4 raka'at sebelum
Zhuhur dan 2 raka'at sesudahnya, 2 raka'at sesudah shalat Maghrib, 2 raka'at sesudah Isya dan 2 raka'at
sebelum shalat Subuh. Jumlah kesemuanya 12 raka'at, yang dinamakan shalat rawatib; Nabi shallallahu
'alaihi wasallam selalu menjaganya di waktu muqim, adapun di waktu beper-gian beliau hanya
melakukan shalat sunnat Subuh dan witir. Untuk kedua shalat sunnah tersebut Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam tidak pernah meninggalkannya baik di waktu muqim maupun di waktu bepergian.
Beliau adalah teladan bagi kita, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik". (Al-Ahzab: 21).
Dan juga sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat".(HR. Bukhari).
Dan lebih utama (afdhal) shalat-shalat rawatib dan shalat witir dilakukan di rumah, namun jika
dilakukan di masjid, maka tidak apa-apa sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumah, kecuali shalat wajib." (Hadits ini disepakati
keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim)
Menjaga shalat rawatib dengan sungguh-sung-guh merupakan bagian dari sebab seseorang masuk
Surga, sebagaimana yang diriwayatkan di dalam Shahih Muslim dari Ummi Habibah radhiyallahu 'anhu
sesungguh-nya dia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Tiada seorang hamba muslim pun yang selalu melakukan shalat sunnat 12 raka'at selain dari shalat
wajib pada setiap hari, melainkan Allah bangun untuknya sebuah istana di Surga."
Dan sesungguhnya Imam At-Tirmidzi di dalam riwayat haditsnya juga menjelaskan (menafsirkan)
hadits di atas sebagaimana yang kami sebutkan tadi.
Jika ia melakukan 4 raka'at sebelum shalat Ashar, 2 raka'at sebelum Maghrib, dan dua raka'at sebelum
shalat Isya', maka itu lebih baik sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Allah akan memberi rahmat kepada seseorang yang selalu shalat 4 raka'at sebelum Ashar". (HR.
Imam Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan ia menghasankannya; dishahihkan Ibnu Huzaimah,
sanad hadits tersebut shahih).
Dan juga sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
" Di antara dua adzan (adzan dan iqamah) ada shalatnya, di antara dua adzan ada shalatnya, -Lalu
beliau bersabda untuk ketiga kalinya: Bagi yang menghendaki." (HR. Al-Bukhari)
Dan jika shalat 4 raka'at setelah shalat Zhuhur dan 4 raka'at sebelumnya, maka itu pun baik pula,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Barangsiapa yang menjaga 4 raka'at sebelum Zhuhur dan 4 raka'at sesudahnya, maka ia diharamkan
oleh Allah atas api Neraka." (HR. Ahmad dan Ahlus Sunan dengan sanad shahih dari Ummi
Habi-bah radhiyallahu 'anhu)
Maksudnya adalah, ia menambah 2 raka'at atas shalat sunnat rawatib sesudah Zhuhur, karena shalat
sunnat rawatib Zhuhur itu 4 raka'at sebelumnya dan 2 raka'at sesudahnya. Maka jika ia melakukan dua
rak'at shalat sunnat lagi sesudahnya, tercapailah apa yang disebutkan di dalam hadits Ummi Habibah
tersebut.
Dan Allahlah Pemberi taufiq, dan semoga Allah tetap mencurahkan shalawat dan salam kepada nabi kita
Nabi Muhammad bin Abdullah shallallahu 'alaihi wasallam, kepada ke-luarga dan para shahabatnya
serta para pengikutnya hingga hari Kiamat.
KEHARUSAN MELAKSANAKAN SHALAT FARDHU
DENGAN BERJAMA'AH
Dari Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditujukan kepada siapa saja yang melihat buku ini dari kaum
muslimin ..
Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh, waba'du:
Telah sampai berita kepadaku bahwasanya banyak kaum muslimin yang mengabaikan dalam melakukan
shalat wajib secara berjama'ah, mereka berdalih dengan pendapat sebagian ulama yang
menggampangkan hal ini. Maka saya berkewajiban untuk menjelaskan betapa besarnya permasalahan
ini dan betapa sangat penting; dan tidak diragukan lagi bahwa mengabaikan shalat berjamaah adalah
suatu kemungkaran yang sangat besar dan bahayanya pun fatal. Maka tugas dan kewajiban para ulama
adalah memberikan penjelasan dan peringatan, terhadap pengabaian tersebut yang merupakan
kemungkaran nyata, yang tidak boleh didiamkan.
Dan sudah dimaklumi bersama, bahwasanya tidaklah layak bagi seorang muslim menganggap remeh
suatu perkara yang kedudukannya dimuliakan oleh Allah di dalam Kitab Sucinya, dan diagungkan oleh
RasulNya yang mulia shallallahu 'alaihi wasallam.
Berulang kali Allah Ta'ala menyebutkan shalat di dalam Kitab Sucinya, Dia tinggikan kedudukannya,
Dia perintahkan agar memelihara dan melaksanakan-nya dengan berjama'ah. Dan Dia peringatkan
bahwa meremehkan dan bermalas-malasan dalam melaku-kannya merupakan ciri (sifat) orang-orang
munafiq, sebagaimana firmanNya:
Peliharalah segala shalat (mu) dan peliharalah shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam
shalatmu) dengan khusyu'. (Al-Baqarah; 238).
Dan bagaimana manusia akan mengetahui bahwa seorang hamba memelihara shalat dan
mengagungkannya, padahal ia telah meninggalkan shalat berjama'ah bersama-sama suadara-saudaranya
(kaum muslimin) dan menganggap remeh kedudukannya. Padahal Allah telah berfirman:
"Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'. (Al-Baqarah:
Ayat di atas secara tegas menjelaskan kewajiban melakukan shalat wajib dengan berjama'ah dan
me-nyertai shalat orang-orang yang shalat; dan sekiranya yang dimaksud oleh ayat tersebut hanya
menegak-kannya saja, maka tidak jelaslah korelasi gamblang pada ujung ayat (dan ruku'lah kalian
bersama-sama orang-orang yang ruku'), karena Allah telah mem-erintahkan agar menegakkannya pada
awal ayat.
Dan Dia pun berfirman:
"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah me-reka (shahabatmu) lalu kamu hendak mendiri-kan
shalat bersama-sama mereka, maka hendak-lah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan
menyandang senjata, kemudian apa bila mereka(yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan
seraka'at), maka hen-daklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan
hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan
hendaklah mereka bersiap-siaga dan menyandang senjata. (An-Nisa': 102).
Pada ayat di atas Allah mewajibkan shalat berjama'ah dalam kondisi perang dan penuh keta-kutan,
maka bagaimana dalam kondisi damai? Kalau sekiranya seseorang diperbolehkan meninggalkan shalat
berjama'ah, niscaya para tentara yang berbaris menghadang musuh dan orang-orang yang terancam
serangan musuh itu lebih berhak untuk diperboleh-kan meninggalkan shalat berjama'ah. Oleh karena
hal itu tidak terjadi (Baca: tidak diperbolehkan mening-galkan shalat berjama'ah), maka dapat kita
ketahui bahwa shalat berjama'ah itu termasuk kewajiban yang sangat penting, dan tidak diperbolehkan
bagi seorang pun meninggalkannya.
Dan di dalam Shahih Bukhari dan Muslim ter-dapat hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu
bahwasanya Ra-sulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sungguh, aku telah bertekad untuk menyuruh (para shahabat) melakukan shalat, dan aku suruh
seseorang untuk mengimaminya, kemudian aku pergi bersama beberapa orang yang membawa
beberapa ikat kayu bakar menuju orang-orang yang tidak ikut shalat berjama'ah, untuk membakar
rumah mereka dengan api. (Al-Hadits).
Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad meriwayatkan bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda:
"Kalau sekiranya tidak karena istri-istri dan anak-anak berada di dalam rumah mereka, niscaya aku
bakar rumah mereka."
Di dalam Shahih Muslim dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu mengatakan: "Sesungguhnya
kami telah menyaksikan, bahwa tidak ada yang meninggalkan shalat berjama'ah (di masa kami)
kecuali orang munafiq yang telah jelas kemunafikannya, atau orang sakit. Padahal ada di antara yang
sakit berjalan de-ngan diapit oleh dua orang untuk mendatangi shalat berjama'ah".
Dan dia juga berkata:
" Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mengajari kami sunnah-sunnah agama,
dan di antara sunnah-sunnah tersebut adalah shalat di masjid yang dikumandangkan adzan di
dalamnya".
Dan di dalam Shahih Muslim juga dia berkata:
"Barangsiapa yang ingin berjumpa Allah di kemudian hari dalam keadaan muslim, maka hendaklah ia
memelihara shalat lima waktu ini dengan melakukannya dimana saja ada seruan adzan, karena
sesungguhnya Allah telah menetapkan (mensyari'atkan) jalan-jalan menuju hidayah (petunjuk-petunjuk
agama), dan sesungguhnya melakukan shalat lima waktu dengan berja-ma'ah adalah termasuk
jalan-jalan menuju hidayah. Maka sekiranya kalian shalat di rumah-rumah kalian sebagaimana orang
yang lalai melakukannya di rumah, maka berarti kalian te-lah meninggalkan sunnah (ajaran) nabi
kalian, dan jika kalian meninggalkan sunnah nabi kali-an, niscaya kalian sesat. Dan tiada seseorang
bersuci (berwudhu), lalu melakukannya dengan baik (sempurna), kemudian ia datang ke salah satu
masjid dari masjid-masjid yang ada ini, melainkan Allah mencatat baginya satu keba-jikan untuk setiap
langkah yang ia ayunkan, dan Dia mengangkatnya satu derajat karena langkah itu, serta Dia hapuskan
dari padanya satu dosa. Sesungguhnya, kami telah menyaksikan, bahwa tiada seorang pun yang
meninggalkan shalat berjama'ah (di masa kami), kecuali orang munafiq yang sudah jelas
kemunafikannya. Dan sesungguhnya ada orang yang diapit oleh dua orang menuju masjid hingga
didirikan di shaf."
Di dalam shahih Muslim juga diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya ada seorang buta yang
berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya tidak ada orang yang menuntunku ke masjid, apakah ada
keringanan bagiku untuk shalat di rumahku? Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab:
Apakah kamu mendengar seruan adzan? Orang itu menjawab: Ya. Maka Nabi bersabda: Kalau begitu
penuhi seruan itu."
Dan juga ada hadits shahih yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah
bersabda:
"Barangsiapa yang mendengar seruan adzan, lalu ia tidak datang (memenuhi seruan shalat berjama'ah
itu), maka tidak sah shalatnya, kecuali karena ada udzur".
Suatu ketika Ibnu Abbas ditanya: Apa udzur itu? Ia menjawab: Takut (serangan musuh) atau sakit.
Dan hadits-hadits yang menunjukkan tentang kewajiban shalat berjama'ah dan kewajiban
melaku-kannya di masjid-masjid yang diizinkan Allah untuk ditinggikan dan disebutkan namaNya,
sangat banyak sekali. Maka kewajiban setiap muslim adalah mem-perhatikan masalah ini dan segera
melakukannya serta menganjurkan dan menasihati anak-anak, keluarga dan para tetangga serta
saudara-saudaranya yang seiman untuk melakukan perkara ini, sebagai ketaatan kepada perintah Allah
dan RasulNya, dan supaya terhindar dari perbuatan yang dilarang oleh Allah dan RasulNya, dan jauh
dari sifat-sifat orang-orang munafiq yang dinyatakan oleh Allah dengan sifat-sifat yang tercela, yang di
antaranya adalah kela-laian mereka dalam melakukan shalat. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"Sesungguhnya orang-orang munafiq itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan
apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya' (dengan
shalat) di hadapan manusia. Dan tidak-lah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. Mereka
dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan
ini(orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu(orang-orang kafir). Barangsiapa yang
disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.
(An-Nisa': 142-143)
Dan sesungguhnya meninggalkan shalat ber-jama'ah merupakan penyebab utama dari pengabaian
pelaksanaan shalat secara keseluruhan.
Sudah dimaklumi bahwa meninggalkan shalat adalah suatu kekafiran dan kesesatan serta keluar dari
Islam, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"(Pembatas) antara seorang muslim dengan kemusrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat."
(HR. Muslim di da-lam kitab Shahihnya bersumber dari Jabir radhiyallahu 'anhu)
Dan beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Perjanjian antara kita dengan mereka (orang munafik) adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya
maka sesungguhnya ia telah kafir". (HR. Imam Ahmad dan Ashabus sunan dengan sanad shahih).
Ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang menjelaskan tentang
kedudukan shalat, kewajib-an memeliharanya dan mendirikannya sebagaimana yang disyari'atkan Allah
serta peringatan keras terha-dap pengabaiannya sangat banyak. Maka kewajiban setiap muslim adalah
memelihara (pelaksanaan)nya tepat pada waktunya dan mendirikannya sebagaimana yang disyari'atkan
Allah bersama saudara-saudaranya di masjid-masjid, sebagai tanda kepatuhan kepada Allah Ta'ala dan
rasulNya, dan agar terhindar dari murka Allah dan kepedihan adzabNya.
Dan apabila kebenaran dan dalil-dalinya telah jelas, maka tidak boleh bagi seorang pun menyim-pang
darinya karena pendapat si Fulan atau si Fulan. Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat ten-tang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian.
Yang demikian itu utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa': 59)
Dan firmanNya:
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa
adzab yang pedih." (An-Nur: 63).
Sudah tidak diragukan lagi bahwa shalat berja-a'ah itu mengandung faidah yang sangat banyak dan
maslahat yang sangat jelas di antaranya adalah saling mengenal (ta'aruf ), saling menolong dalam
kebajikan dan ketaqwaan, saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, memberi dorongan kepada
orang yang lalai, mengajar orang yang bodoh, mem-bongkar kemarahan orang-orang munafiq dan
men-jauhi jalan mereka, menampakkan syi'ar-sy'iar agama kepada segenap hamba-hambaNya,
berdakwah di jalan Allah dengan lisan amal, dan faidah lain yang masih banyak.
Sebagian orang ada yang bergadang di malam hari sehingga terlambat melakukan shalat Subuh, dan
sebagian lagi ada yang meninggalkan shalat Isya'. Tentu, hal seperti itu merupakan kemungkaran besar
dan tasyabbuh (meniru perbuatan) orang-orang munafiq, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"Sesungguhnya orang-orang munafiq itu (ditem-patkan) pada tingkatan yang paling bawah dari
Neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan men-dapat seorang penolong pun bagi mereka. (An-Nisa:
145).
Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Orang-orang munafiq laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sa-ma,
mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang berbuat yang ma'ruf, dan mereka
menggenggamkan tangannya, mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.
Sesungguhnya orang-orang munafiq itulah orang-orang yang fasiq. Allah mengancam orang-orang
munafiq laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan Neraka Jahannam. Mereka kekal di
dalamnya. Cukuplah Neraka itu bagi mereka; dan Allah melaknati mereka; dan bagi mereka adzab
yang kekal. (At-Taubah 67-68).
Dan Allah berfirman tentang mereka:
"Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melain-kan
karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan
dengan malas dan tidak pula menaf-kahkan harta mereka, melainkan dengan rasa enggan. Maka
janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki
dengan memberi harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan
kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir. (At-Taubah-54-55).
Maka wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan waspada dari menyerupai (meniru-niru)
orang-orang munafiq baik perbuatan, perkataan dan kemalasan mereka dalam menunaikan shalat dan
pengabaian mereka dalam melakukan shalat Isya' dan Subuh dengan berjama'ah, agar tidak dihimpun
ber-sama mereka.
Dalam riwayat hadits shahih Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ber-sabda:
" Shalat yang paling berat menurut orang-orang munafiq adalah shalat Isya' dan shalat Shubuh.
Sekiranya mereka mengetahui pahala yang ter-kandung pada keduanya, niscaya mereka akan datang
untuk melakukannya (secara berja-ma'ah) sekalipun dengan merangkak". (Muttafaq alaih).
Dan sabdanya:
"Barangsiapa meniru-niru (menyerupai) suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka". (HR. Imam
Ahmad, bersumber dari Abdullah bin Umar shallallahu 'alaihi wasallam dengan sanad hasan).
Semoga Allah memberi taufiq kepadaku dan kepada pembaca menuju keridhaanNya dan kebaikan di
dunia dan akhirat, dan semoga Dia melindungi kita dari kejahatan nafsu, amal-amal buruk kita dan dari
perbuatan yang menyerupai orang-orang kafir dan munafiq. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi
Maha Mulia.
HUKUM SHALAT DAN BERSUCI BAGI ORANG SAKIT
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, sha-lawat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada nabi
dan rasul yang termulia, nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga serta segenap para shahabatnya, wa
ba'du:
Berikut ini adalah uraian singkat yang berhu-bungan dengan beberapa hukum bersuci dan shalat bagi
orang sakit.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan kewa-jiban bersuci untuk setiap shalat,
karena sesungguh-nya menghilangkan hadats dan najis, baik pada tu-buh, pakaian atau tempat shalat,
keduanya merupa-kan bagian dari syarat-syarat sahnya shalat. Maka apabila seorang muslim hendak
melakukan shalat, ia wajib berwudhu (bersuci) dari hadats kecil, atau mandi terlebih dahulu jika ia
berhadats besar. Dan sebelum berwudhu ia harus beristinja' (bersuci) dengan air atau beristijmar
dengan batu jika kencing atau buang air besar, agar kesucian dan kebersihan menjadi sempurna.
Dan berikut ini uraian tentang berapa hukum yang berkaitan dengan hal di atas:
Bersuci dengan air dari apa saja yang keluar dari qubul atau dubur, seperti air kencing atau berak adalah
wajib.
Dan tidak diwajibkan (kepada seseorang) ber-istinja karena tidur atau keluar angin (kentut), yang wajib
baginya adalah berwudlu. Sebab, istinja' itu disyari'atkan untuk menghilangkan najis. Sementara, tidur
dan keluar angin itu tidak ada najis.
Istijmar adalah pengganti istinja (bersuci) de-ngan air. Dan istijmar dengan batu atau sesuatu yang
serupa dengannya. Dalam beristijmar harus meng-gunakan tiga buah batu yang suci dan bersih, sebab
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits shahihnya bersabda:
"Barangsiapa beristijmar hendaklah ia mengganjilkannya".
Dan beliu juga bersabda:
"Apabila seorang diantara kalian pergi kebela-kang untuk buang air besar, maka hendaklah membawa
tiga batu, karena sesungguhnya hal itu cukup baginya" (HR. Abu Daud).
Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang beristijmar dengan kurang dari tiga batu,
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Tidak boleh beristijmar dengan kotoran (manusia atau hewan), tulang atau makanan, atau apa saja yang
haram.
Afdhalnya adalah beristijmar dengan batu atau apa saja yang serupa dengannya, seperti tissue dan
lain-lain, kemudian diakhiri dengan air. Karena batu berfungsi menghilangkan materi najis, sedangkan
air mensucikan tempat (najis). Maka yang demikian ini lebih suci.
Seseorang boleh memilih antara beristinja' dengan air atau beristijmar dengan batu dan benda yang
serupa dengannya, atau menggabungkan antara keduanya.
Dari Anas radhiyallahu 'anhu bahwa dia berkata:
"Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah masuk ke jamban, dan aku bersama anak
sebaya denganku memba-wa bejana berisi air dan tongkatnya. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
beristinja dengan air itu". (Muttafaq alaih).
Dan dari 'Aisyah radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata kepada sekelompok orang: "Suruhlah
suami-suami kalian ber-suci dengan air, karena sesungguhnya aku malu kepada mereka, dan
sesungguhnya Rasulullah radhiyallahu 'anhu selalu melakukannya". Imam At-Tirmidzi mengatakan
bahwa hadits ini shahih".
Apabila memilih salah satunya, maka (dengan) air itu lebih afdhal, karena air dapat mensucikan tempat
(najis) dan menghilangkan materi dan bekas najis. Air itu lebih sempurna dalam membersihkan. Dan
seandainya memilih bersuci dengan mengguna-kan batu, maka boleh dengan syarat menggunakan tiga
batu yang dapat membersihkan tempat (najis).
Jika tiga batu tidak cukup untuk (membersih-kan), maka ditambah satu atau dua lagi hingga tempat
najis benar-benar bersih. Dan afdhalnya disudahi dengan hitungan ganjil, karena Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda:
"Barangsiapa beristijmar hendaklah mengganjilkan".
Dan tidak boleh beristijmar dengan tangan kanan, karena Salman berkata di dalam haditsnya:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang siapa saja dari kami beristinja dengan tangan
kanan".
Dan beliau bersabda:
" Jangan ada seorang di antara kamu memegang kemaluannya dengan tangan kanan di saat ia kencing,
dan jangan pula mengusap (meng-lap) setelah buang air besar dengan tangan kanan".
Jika tangannya patah atau sakit atau karena hal lain, maka boleh beristijmar dengan tangan kanan,
karena terpaksa, dan tidak apa-apa. Jika bersuci dengan melakukan keduanya, istijmar dan istinja
dengan air, maka yang demikian itu lebih afdhal dan lebih sempurna.
Ajaran Islam (Syari'at Islam) dibangun berlan-dasan kemudahan dan keringanan, maka dari itulah Allah
memberikan keringanan bagi orang-orang yang mempunyai udzur di dalam peribadatan sesuai dengan
udzurnya, sehingga mereka dapat beribadah kepada-Nya tanpa kesulitan. Allah Ta'ala berfirman:
"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan". (Al-Hajj: 78).
Dan firmanNya:
"Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagimu". (Al-Baqarah:
185).
Dan firmanNya:
"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menu-rut kesanggupanmu". (At-Taghabun:16).
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Apabila aku perintah kalian dengan sesuatu, maka lakukanlah ia sesuai dengan kemampuan kalian".
Dan beliau juga bersabda:
"Sesungguhnya agama itu mudah".
Orang sakit, apabila ia tidak memungkinkan bersuci dengan menggunakan air, seperti berwudhu dari
hadits kecil atau mandi dari hadats besar, karena lemah atau khawatir akan bertambah parah atau
kesembuhannya akan tertunda, maka ia boleh ber-tayammum, yaitu menepukkan kedua telapak tangan
ke tanah yang suci satu kali, lalu menyapu mukanya dengan telapak jari-jari dan kedua tangan dengan
telapak tangannya; karena Allah berfirman:
"Dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu de-ngan tanah itu.
(Al-Ma'idah: 6).
Orang yang tidak mampu menggunakan air kedudukannya (hukumnya) sama dengan kedudukan orang
yang tidak memperoleh air, karena firman Allah Ta'ala:
"Bertaqwalah kalian kepada Allah menurut ke-mampuan kalian". (At-Taghabun: 16).
Dan juga sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada Ammar bin Yasir:
"Sesungguhnya cukup bagimu melakukan dengan kedua tanganmu seperti ini". Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam sam-bil menepukkan kedua tangannya ke tanah satu kali, lalu menyapukannya ke muka
dan kedua telapak tangannya.
Dan tidak boleh bertayamum kecuali dengan tanah bersih yang berdebu.
Dan tayamum tidak sah kecuali dengan niat, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya amal ibadah itu (tergantung) dengan niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan
mendapat (pahala atau tidak) sesuai de-ngan niatnya".
Ada beberapa kondisi orang sakit dalam hal bersuci:
1. Apabila sakitnya ringan dan tidak dikhawatir-kan akan bertambah parah jika menggunakan air, atau
penyakitnya tidak mengkhawatirkan dan tidak memperlambat proses penyembuhannya, atau tidak
menambah rasa sakit, atau penyakit yang serius seperti pusing, sakit gigi atau penyakit lainnya yang
serupa; atau orang sakit itu masih dapat mengguna-kan air hangat dan tidak berbahaya karenanya, maka
dalam kondisi seperti itu ia tidak boleh bertayamum. Sebab tayamum itu dibolehkan untuk menghindari
bahaya, padahal dalam kondisi seperti ini tidak ada sesuatu yang membahayakan; dan karena ia juga
memperoleh air. Dengan demikian, ia wajib meng-gunakan air.
2. Jika ia mengidap penyakit yang dapat mem-bahayakan jiwanya, atau membahayakan salah satu
anggota tubuhnya, atau penyakit yang mengkha-watirkan akan timbulnya penyakit lain yang dapat
membahayakan jiwanya, atau membahayakan salah satu anggota tubuhnya atau mengkhawatirkan
hilang-nya manfa'at, maka dalam kondisi seperti ini ia boleh bertayamum, karena Allah berfirman:
"Dan janganlah kamu membunuh dirimu, se-sungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu".
(An-Nisa': 29).
3. Jika ia mengidap penyakit yang membuatnya tidak dapat bergerak. Sementara, tidak ada orang yang
mengantarkan air kepadanya, maka boleh bagi-nya bertayamum. Kalau dia tidak dapat bertayamum,
maka ditayamumkan oleh orang lain. Dan jika tubuh, pakaian atau tempat tidurnya terkena najis,
sementara ia tidak mampu menghilangkan atau bersuci darinya, maka ia diperbolehkan melakukan
shalat dalam keadaan seperti itu. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"Maka bertaqwalah kalian kepada Allah menu-rut kemampuan kalian".
Dan tidak boleh baginya menunda waktu shalat dalam keadaan bagaimanapun atau disebabkan
keti-dakmampuannya bersuci atau menghilangkan najis.
4. Bagi orang yang luka parah, berbisul, patah tulang atau penyakit apa saja yang dapat mem-bahayakan
dirinya bila menggunakan air, lalu junub, maka boleh bertayamum, karena dalil-dalil di atas; akan tetapi
jika ia memungkinkan untuk mencuci bagian yang sehat dari tubuhnya, maka mencuci yang demikian
itu wajib dan bagian yang lain disucikan dengan tayamum.
5. Apabila si sakit berada di suatu tempat yang tidak ada air dan tanah dan tidak ada orang yang
mendatangkan kepadanya, maka harus shalat (tanpa wudhu atau tayamum), dan tidak ada alasan
baginya untuk menunda waktu shalat, karena firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Maka bertaqwalah kalian kepada Allah menurut kemampuan kalian".
6. Bagi orang yang menderita penyakit beser (kencing terus menerus) atau pendarahan yang
terus-menerus atau selalu buang angin, sedangkan pengobatan tidak pernah menyembuhkannya, maka ia
wajib berwudhu pada setiap kali shalat sesudah masuk waktu, dan mencuci bagian tubuh atau pakaian
yang terkena kotorannya, atau memakai pakaian bersih pada setiap kali shalat, jika hal itu
memungkinkan; sebab Allah telah berfirman:
"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Al-Haj: 78).
Dan firmanNya:
"Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian".
(Al-Baqarah: 185).
Dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Apabila aku perintah kalian melakukan suatu perkara, maka lakukanlah ia menurut kemam-puan
kalian".
Dan hendaklah ia mengambil sikap hati-hati untuk mencegah tersebarnya air seni atau darah ke pakaian,
tubuh atau tempat shalatnya.
Dan diperbolehkan baginya sesudah shalat hingga habis waktunya untuk melakukan shalat sunnat apa
saja atau membaca Al-Qur'an. Lalu apabila waktu telah habis, wajib berwudhu' lagi atau ber-tayamum
jika tidak dapat berwudhu', karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyuruh wanita yang
menderita istihadhah (keluar darah terus menerus dari rahim-nya selain darah haid) agar berwudhu'
pada setiap kali akan shalat wajib. Adapun air seni atau darah yang keluar pada waktu itu tidak apa-apa
asalkan ia berwudhu' sesudah masuk waktu (shalat).
Jika pada anggota tubuh ada yang masih dibalut (pada anggota wudhu atau tubuh) maka cukup
mengusap di atas pembalut tersebut pada saat berwudhu' atau mandi dan mencuci bagian anggota yang
lainnya. Namun jika mengusap pembalut atau mencuci anggota yang dibalut itu membahayakan, maka
cukup bertayamum pada tempat itu dan bagian yang tersisa dari anggota yang berbahaya bila dicuci.
Tayamum batal dengan setiap hal yang mem-batalkan wudhu' atau karena adanya kemampuan untuk
menggunakan air atau karena adanya air, jika sebelumnya tidak ada air. Wallahu a'lam.
TATA CARA SHALAT ORANG SAKIT:
Para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang tidak mampu melakukan shalat dengan berdiri hen-daknya
shalat sambil duduk, dan jika tidak mampu dengan duduk, maka shalat sambil berbaring dengan posisi
tubuh miring dan menghadapkan muka ke kiblat. Disunnatkan miring dengan posisi tubuh miring di
atas tubuh bagian kanan. Dan jika tidak mampu melaksanakan shalat dengan berbaring mi-ring, maka ia
boleh shalat dengan berbaring telen-tang, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada
'Imran bin Hushain:
"Shalatlah kamu sambil berdiri, dan jika kamu tidak mampu, maka sambil duduk, dan jika tidak
mampu, maka dengan berbaring". (HR. Bukhari).
Dan Imam An-Nasa'i menambahkan:
"... lalu jika tidak mampu, maka sambil telentang".
Dan barangsiapa mampu berdiri, akan tetapi tidak mampu ruku' atau sujud, maka kewajiban berdiri
tidak gugur darinya. Ia harus shalat sambil berdiri, lalu ruku' dengan isyarat (menundukkan kepala),
kemudian duduk dan sujud dengan berisya-rat; karena firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"...Dan berdirilah karena Allah (dalam shalat-mu) dengan khusyu'.'". (Al-Baqarah: 238).
Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
"Shalatlah kamu sambil berdiri".
Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menu-rut kesanggupanmu". (At-Taghabun: 16).
Dan jika pada matanya terdapat penyakit, se-mentara para ahli kedokteran yang terpercaya menga-takan:
"Jika kamu shalat bertelentang lebih memu-dahkan pengobatanmu", maka boleh shalat telentang.
Barangsiapa tidak mampu ruku' dan sujud, maka cukup berisyarat dengan menundukkan kepala pada
saat ruku' dan sujud, dan hendaknya ketika sujud lebih rendah daripada ruku'.
Dan jika hanya tidak mampu sujud saja, maka ruku' (seperti lazimnya) dan sujud dengan berisyarat.
Jika ia tidak dapat membungkukkan pung-gungnya, maka ia membungkukkan lehernya; dan jika
punggungnya memang bungkuk sehingga seolah-olah ia sedang ruku', maka apabila hendak ruku', ia
lebih membungkukkan lagi sedikit, dan di waktu sujud ia lebih membungkukkan lagi semam-punya
hingga mukanya lebih mendekati tanah se-mampunya.
Dan barangsiapa tidak mampu berisyarat de-ngan kepala, maka dengan niat dan bacaan saja, dan
kewajiban shalat tetap tidak gugur darinya dalam keadaan bagaimanapun selagi ia masih sadar
(ber-akal), karena dalil-dalil tersebut di atas.
Dan apabila ditengah-tengah shalat si penderita mampu melakukan apa yang tidak mampu ia lakukan
sebelumnya, seperti berdiri, ruku', sujud atau ber-isyarat dengan kepala, maka ia berpindah kepadanya
(melakukan apa yang ia mampu) dengan meneruskan shalat tersebut.
Dan apabila si sakit tertidur atau lupa melaku-kan shalat atau karena lainnya, ia wajib menunaikan-nya
di saat ia bangun atau di saat ia ingat, dan tidak boleh menundanya kepada waktu berikutnya.
Seba-gaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Barangsiapa tertidur atau lupa melakukan shalat, maka hendaknya ia menunaikannya pada saat ia
ingat, tidak ada tebusan lain baginya kecuali hanya itu". Lalu beliau mem-baca firman Allah: "dan
dirikanlah shalat untuk mengingatKu". (Thaha: 14).
Tidak boleh meninggalkan shalat dalam keada-an bagaimanapun; bahkan setiap mukallaf wajib
bersungguh-sungguh untuk menunaikan shalat pada hari-hari sakitnya melebihi hari-hari ketika ia sehat.
Jadi, tidak boleh baginya meninggalkan shalat wajib hingga lewat waktunya, sekalipun ia sakit selagi ia
masih sadar (kesadarannya utuh). Ia wajib menunai-kan shalat tersebut menurut kemampuannya. Dan
apabila ia meninggalkannya dengan sengaja, sedang-kan ia sadar (masih berakal) lagi mukallaf serta
mampu melakukannya, walaupun hanya dengan isyarat, maka dia adalah orang yang berbuat dosa.
Bahkan ada sebagian dari para Ahlul 'ilm (ulama) yang mengkafirkannya berdasarkan sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam:
"Perjanjian antara kita dengan mereka (orang munafiq) adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya
maka kafirlah ia".
Dan sabdanya:
"Pokok segala perkara adalah Al-Islam, tiangnya Islam adalah shalat dan puncak Islam adalah jihad di
jalan Allah"
Begitu pula sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam:
"(Pembatas) antara seorang muslim dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat"
(HR. Muslim di dalam Shahih-nya).
Dan pendapat ini yang lebih shahih, sebagai-mana yang dijelaskan di dalam ayat-ayat Al-Qur'an
tentang shalat dan hadits-hadits tersebut.
Dan jika ia kesulitan untuk melakukan shalat pada waktunya, maka boleh menjama' antara shalat
Zhuhur dengan shalat Ashar dan shalat Maghrib dengan shalat Isya', baik jama' taqdim maupun jama'
ta'khir, sesuai kemampuannya. Dan jika ia mau boleh memajukan shalat Asharnya digabung dengan
shalat Zhuhur atau mengakhirkan Zhuhur bersama Ashar di waktu Ashar. Atau jika ia menghendaki,
boleh mema-jukan Isya' bersama Maghrib atau mengakhirkan Maghrib bersama Isya'. Adapun shalat
Subuh, (tetap dilakukan seperti biasa) tidak bisa dijama' dengan shalat sebelum atau sesudahnya, karena
waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya.
Inilah hal-hal yang berhubungan dengan orang sakit dalam bersuci dan melakukan shalat.
Aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. semoga menyembuhkan orang-orang sakit dari
kaum muslim dan menghapus dosa-dosa mereka, dan mengaruniakan ma'af dan afiat kepada kita semua
di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.
Sumber :Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia,
Pimpinan Dewan Tokoh-tokoh Ulama dan Kajian Ilmiyah dan Fatwa,
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Comments