Ketika Perang Khondaq para shahabat telah menemukan batu besar keras yang tidak bisa dipecahkan dengan cangkul di salah satu parit, kemudian para shahabat mengadukan hal itu kepada Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam, maka beliau datang sambil membawa cangkul kemudian berkata, ’Bismillah’, selanjutnya langsung memukulnya sekali pukulan lalu berkata,
”Allahu Akbar, telah diberikan kepadaku kunci-kunci kerajaan Syam, dan demi Allah, saat ini aku benar-benar melihat istana-istananya yang penuh dengan gemerlap.”
kemudian Nabi memukul untuk kedua kalinya, maka terpecahlah sisi yang lainnya, beliau pun berkata,
”Allahu Akbar, telah diberikan kepadaku negeri Persia, demi Allah aku benar-benar melihat istana kerajaannya yang penuh dengan gemerlapan sekarang ini.”
setelah itu beliau memukul untuk ketiga kalinya, lalu berkata, ”Allahu Akbar.” maka terpecahlah bagian yang tersisa dari batu itu, dan berkata kembali,
”Allahu Akbar. Aku benar-benar diberi kunci-kunci kerajaan Yaman. Demi Allah aku benar-benar melihat pintu-pintu Shon’a dari tempatku ini. ” (Shahih Bukhari Bab Ghazwah alkhandak, II/588).
Dalam selimut ketegangan, kesempitan, semangat, dan kerja keras, Allah menurunkan janji-janjiNya kepada Kaum Muslimin. Janji-janji kemenangan atas Syam, Persia, dan Yaman, yaitu negeri-negeri yang merupakan pusat peradaban dunia kala itu. Ya.. Apa yang mereka lakukan saat itu merupakan satu langkah dari sebuah arena menuju kemenangan. Kelak, di sanalah mereka akan menegakkan sebuah peradaban baru, yakni Islam. Optimisme Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam akan terwujudnya cita-cita sangatlah besar. Rentang waktu yang relatif singkat 23 tahun perjuangan, telah membuat negara-negara adikuasa pada saat itu tercengang-cengang.
Berawal dengan diterimanya surat-surat oleh negera-negara adikuasa waktu itu, (seperti Persia, Romawi, Damaskus, Mesir) dari Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam yang mengajak mereka bersatu dengan ikatan ”laa ilaaha illallah”. Negeri-negeri Arab sebelumnya adalah gurun yang gersang, penduduknya selalu berperang antar kabilah, sehingga tidak terfikir sedikitpun oleh mereka (negeri-negeri adikuasa waktu itu) akan adanya kekuatan yang sangat besar lahir dari sana.
Realita ini menunjukkan, bahwa betapa berat amanah perjuangan seorang rasul, yang harus merubah peradaban dunia, dari titik nol menuju kejayaan, sehingga menjadikan peradaban Islam sebagai satu-satunya kekuatan yang unggul di atas segalanya.
Berangkat dari perjalanan Rasul shallallaahu’alaihi wasallam, maka kita melihat solusi kemenangan atas kondisi kritis kaum Muslimin dan kekalahannya saat ini adalah perlunya satu unsur dalam perubahan, yaitu melahirkan rijâl (reformer), seorang pejuang tangguh dengan karakter ’unik’ (good character) guna memimpin perjuangan ini.
Alhamdulillah Allah ta’ala telah menjanjikan kemenangan kepada kita, dan menunjukan jalan menuju kemenangan tersebut.
Allah ta’alaberfirman:
”Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik”. (QS. An-Nuur [24]: 55)
Guna mengawali kemenangan maka suatu pembinaan komprehensif harus dijalankan, tentu dibangun diatas prinsip-prinsip Islam guna melahirkan pribadi-pribadi muslim yang berkualifikasi ideal, serta semua itu tidak akan terjadi dengan instan, melainkan dengan sebuah proses berkepanjangan sebagaimana Allah firmankan,
”.. sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa..”.
Ada 5 (lima) unsur utama yang harus disajikan pada pola pembinaan, diantaranya:
Pertama: At Tafaqquh fiddiin.
At Tafaqquh fiddiin sebagai unsur yang paling mendasar untuk memulai kembalinya kemulian Islam, yaitu pengetahuan tentang Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman salafusshalih. Dengan ilmu inilah, kita melihat seorang Ibnu Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Annas bin Malik, Bilal bin Rabah dan banyak sekali sahabat radiyallaahu ’anhum yang memiliki latar belakang hanya sebagai penggembala kambing dan bahkan seorang budak menjadi tokoh-tokoh ilmuwan yang berperan besar dalam Islam. Bahkan kita tahu ada ’Atha bin Abi Rabah (seorang tabi’in berkulit hitam legam dari Ethiopia) yang telah membuat Khalifah Sulaiman bin Abdil Malik rela antri dan menunggui shalatnya untuk bertanya-tanya tentang manasik haji. Hal ini semua karena kemuliaan mereka atas ilmu yang ada padanya.
Sungguh, nama-nama mereka akan selalu dikenang selama-lamanya. Pribadi-pribadi muslim yang benar-benar paham akan islamlah yang akan membawa panji perjuangan ini kepada kejayaannya. Ya.., mereka yang hanya merasa cukup dengan ilmu Allah dan RasulNyalah yang akan menjadi tokoh-tokoh sebenarnya.
Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam telah membina para shahabatnya dengan ilmu ini di zaman ilmu falsafah Yunani dan Romawi menjadi kiblat bagi masyarakat. Karena itu, Beliau shallallaahu’alaihi wasallam merasa perlu memarahi Umar bin Khatab radiyallaahu ’anhu ketika berusaha membolak-balik Taurat di tangannya.
Kedua: Al Hifâdz ’alâ Ziyadatil Iman
Sebuah upaya agar iman itu tetap terkontrol, dan terjaga. Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa iman adalah ’aqidah (keyakinan) dalam hati, ucapan pada lisan, dan amal melalui perbuatan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
Sifat Iman yang fluktuatif menjadi sebab kita perlu selalu menjaga, dan memeliharanya. Keimanan menjadi motor penggerak perubahan, maka pemahaman hakikat iman secara benar, faktor-faktor penguat iman dan yang melemahkan iman menjadi prioritas utama ilmu yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Karena sebab imanlah seseorang akan berubah menjadi lebih baik..
Ketiga: Melejitkan Potensi Dan Mengarahkannya.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam bersabda, artinya:
”Umatku yang paling penyayang kepada umatku adalah Abu Bakar, yang paling tegas dalam agama adalah Umar, yang paling jujur malunya adalah Utsman bin Affan, yang paling mengetahui masalah halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal, yang paling menguasai ilmu faraidh adalah Zaid bin Tsabit, dan yang paling baik bacaannya adalah Ubay bin Ka’ab. Setiap umat ada amin (orang kepercayaan)nya dan amin umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarroh.” (Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam as silsilah as shahihah no 1224).
Dalam riwayat Imam al-Bukhari dari Abdullah bin Umar Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam bersabda:
”Ambillah bacaan al-Qur’an dari empat orang; Abdullah bin Mas’ud, Salim mantan budak Abu Hudzaifah, Ubay bin Ka’ab, dan Mu’adz bin Jabal.” (Shahih al-Bukhari, Kitab Fadoil ash-Shahabah, Manaaqib Abdullah bin Mas’ud, no. 3760, 7/102).
Dalam hadits ini Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam mengkhususkan empat orang shahabat untuk diambil bacaan al-Qur’an darinya. Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan sebab pengkhususannya, Ia berkata,
”Dikhususkannya empat orang shohabat untuk mengambil bacaan al-Qur’an dari mereka, karena mereka adalah orang yang paling kuat hafalannya dan paling bagus dalam mengajarkannya. Atau karena mereka fokus dalam mempelajarinya secara langsung dari Nabi dan berusaha menyampaikannya setelah itu. Itulah sebabnya dianjurkan untuk mengambil dari mereka. Bukan karena yang lainnya belum mengumpulkan (al-Qur’an).
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Zaid bin Tsabit, ’Ketika Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam tiba di Madinah, Zaid berkata:
”Saya dibawa ke hadapan Rosululloh dan mereka membanggakan saya dengan berkata, ’Wahai Rosululloh! Ini anak dari Bani Najjar. Dia menghafal apa yang diturunkan Allah kepadamu (al-Qur’an) beberapa belas ayat.’
Rasulullah kagum dengan itu dan bersabda:
”Ya Zaid, belajarlah untukku kitab Yahudi. Demi Allah, saya tidak merasa aman dengan orang Yahudi pada Kitabku (dengan mengubah al-Qur’an).”
Zaid berkata, ”Saya belajar kitab mereka, dan tidak lewat lima belas malam, hingga saya mengusainya. Saya membaca surat-surat bila mereka menulis surat kepada beliau dan saya menjawab kepada mereka bila beliau menulis.” (Syaikh al-Albani berkata : ”Hasan Shahih.”), [Shahih Abu Dawud 2/695].
Hikmah dalam hadits ini, adalah Rosulullah shallallaahu’alaihi wasallam memilih Zaid bin Tsabit untuk keperluan mempelajari bahasa Yahudi. Dia ahli dalam melakukan hal itu, karena bisa menguasai bahasa tersebut dalam waktu setengah bulan.
Keempat: Pendelegasian Amal
Ibnu Ishaq menyebutkan ketika Allah hendak menampakkan agamaNya dan mengagungkan nabiNya pada musim haji serta membenarkan janjiNya, pada tahun ke-11 dari kenabian, beliau keluar menawarkan dirinya kepada kabilah-kabilah Arab seperti lazimnya dilakukan tahun-tahun sebelumnya. Sesampainya di Aqabah, beliau bertemu sekelompok orang berasal dari suku Khazraj, Allah menginginkan kebaikan kepada mereka. Mereka adalah As’ad bin Zurarah, ’Auf bin al-Harits bin Rifa’ah, Rafi bin Malin bin al-’Ajlan, Quthbah bin ’Amir bin Hadidah, ’Uqbah bin ’Amir bin Naby,dan Jabir bin ’Abdullah bin Riab.
Salah satu faktor yang membuat Ahli Yatsrib menjadi bahagia adalah ucapan yang pernah mereka dengar dari orang-orang Yahudi Madinah, yaitu (mereka mengatakan),
”Akan muncul seorang Nabi yang diutus pada zaman ini dan kami akan mengikutinya serta bersamanya akan membunuh kalian sebagaimana kaum ’Ad dan Iram dibunuh.”
Ketika Rasulullah menemui mereka, beliau menyapa: ”Siapa kalian ini?”
”Segolongan orang dari suku Khazraj,” jawab mereka.
”Apakah kalian sekutu orang-orang Yahudi?” tanya beliau lagi.
”Ya, benar,” jawab mereka.
”Kalau begitu, bolehkan aku duduk-duduk dan berbincang dengan kalian?” tawar beliau.
”Boleh, silakan,” sambut mereka lagi.
Beliau pun akhirnya duduk-duduk bersama mereka seraya menjelaskan hakikat Islam dan Dakwah Islam, mengajak mereka menyembah Allah serta membacakan al-Qur’an kepada mereka.
Sebagian mereka lantas berkata kepada yang lain,
”Wahai kaumku, demi Allah, kalian mengetahui bahwa dia inilah Nabi yang pernah diberitakan oleh orang-orang Yahudi untuk mengancam kita. Karena itu, jangalah kita didahului oleh mereka untuk mengikutinya. Bergegaslah menyambut dakwahnya dan masuk Islamlah!”
Mereka berkata,
”Sesungguhnya kami telah meninggalkan kaum kami di mana tidak ada suatu kaumpun yang tingkat permusuhan dan kejahatan yang terjadi di antara mereka melebihi apa yang terjadi di antara kaum kami, semoga saja dengan perantaraanmu, Allah menyatukan mereka. Kami akan mendatangi mereka dan mengajak kepada ajaranmu serta memaparkan kepada mereka ajaran yang telah kami respon dari agama ini, jika Allah menyatukan mereka melalui perantaraanmu, maka tidak ada orang yang lebih mulia dari dirimu”.
Tatkala mereka pulang ke Madinah, mereka mengemban risalah Islam sehingga tidak ada satu rumah yang dihuni oleh orang-orang Anshar kecuali memperbincangkan perihal Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam.
Kita juga ingat duta Islam yang pertama, yaitu Mush’ab bin ’Umair. Setelah Bai’at aqabah pertama rampung dan musim haji berlalu, Nabishallallaahu’alaihi wasallam mengutus bersama para pembai’at tersebut seorang duta pertama di Madinah guna mengajarkan syari’at Islam kepada kaum Muslimin di sana, memberikan pemahaman tentang Dien al-Islam serta bergerak menyebarkan Islam di kalangan mereka yang masih dalam kesyirikan.
Untuk urusan tersebut, beliau memilih seorang pemuda Islam yang merupakan salah seorang as-Sabiqun al-Awwalun (orang-orang yang pertama-tama masuk Islam), yaitu Mushab bin Umair radhiyallaahu ’anhu, sampai kita melihat beliau memperoleh keberhasilan yang amat cemerlang.
Dalam ash-Shahihain dari Ibnu Abbas, ketika Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam mengutus Mu’adz bin Yaman, beliau bersabda, artinya:
”Sesungguhnya kami akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka jadikanlah yang pertama kali kamu dakwahkan kepadanya adalah syahadat bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Alloh dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah”.
Kelima: Pembelajaran Adab
Adab merupakan perhiasan seorang muslim yang pertama kali akan dilihat. Dengan adab inilah dibedakan antara pribadi seorang muslim dan lainnya. Secara fitrah manusia menyukai pada adab yang mulia dan Islam sudah mengajarkan adab-adab tersebut pada umatnya baik yang berhubungan dengan Allah maupun dengan makhlukNya.
Ibnul Qayyim dalam kitabnya Madarijussalikin menukil perkataan ’Abdullah bin Mubarak yang mengatakan: ”Barangsiapa meremehkan adab maka tidak mendapatkan sunnah, barangsiapa meremehkan sunnah maka tidak mendapatkan yang wajib, barangsiapa meremehkan yang wajib maka dia tidak mendapatkan pengetahuan, dikatakan pula : ’Adab dalam amal tanda diterimanya amal itu.”
Kelima unsur di atas dengan izin Allah akan melahirkan pribadi muslim dengan Good Character. Semoga!
Sumber : Buletin Al-Wahdah
Related Posts
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Comments