Tambo dalam arti yang sebenarnya adalah
cerita sejarah negeri Minangkabau. Tambo-tambo lama Minangkabau didapati
hampir di tiap-tiap nagari di Minangkabau yang ditulis dengan tangan
dan memakai aksara Arab. Tambo-tambo tersebut sangat dimuliakan orang,
bahkan adakalanya dipandang sebagai pusaka keramat. Sehingga yang
memegangnya adalah kepala suku atau orang yang akan mengantikan kepala
suku itu. Tidak sembarang orang yang boleh membaca, bahkan untuk
membacanya harus didahului upacara khusus.
Beberapa Saduran Naskah Tambo
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Dr. Edwar Djamaris, tambo-tambo yang banyak itu ditulis dalam
bahasa Melayu berbentuk prosa. Naskah Tambo Minangkabau ini sebagian
besar ditulis dengan huruf Arab-Melayu, dan sebagian kecil ditulis
dengan huruf latin. Naskah Tambo Minangkabau yang berhasil diketemukan
sebanyak 47 naskah, masing-masing tersimpan di museum Nasional Jakarta
sebanyak 10 naskah, di perpustakaan Universitas Leiden sebanyak 31
naskah, di perpustakaan KITLV Leiden Belanda sebanyak 3 naskah, di
perpustakaan SOAS Universitas London 1 naskah, dan di perpustakaan RAS
London 2 naskah.
Ada delapan saduran cerita Tambo Minangkabau yaitu:
- Curai Paparan Adat Lembaga Alam Minangkabau ( Dirajo 1979 dan 1984)
- Mustika Adat Alam Minangkabau (Dirajo 1953 dan 1979)
- Tambo Minangkabau ( Batuah 1956)
- Tambo Alam Minangkabau (Sango 1959)
- Tambo dan Silsilah Adat Alam Minangkabau (Basa 1966)
- Tambo Pagaruyung (Basri 1970a)
- Tambo Alam (Basri a970b)
- Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah (Mahmoed 1978)
Tujuan Penulisan Tambo
Secara umum dapat dikemukakan bahwa fungsi utama cerita Tambo Minangkabau adalah untuk menyatukan pandangan orang Minangkabau terhadap asal usul nenek moyang,
adat, dan negeri Minangkabau. Hal ini dimaksudkan untuk mempersatukan
masyarakat Minangkabau dalam satu kesatuan. Mereka merasa bersatu karena
seketurununan, seadat dan senegeri.
A.A Navis seorang Budayawan Minang
mengatakan Kisah tambo yang dipusakai turun-menurun secara lisan oleh
orang Minangkabau hanya mengisahkan waktu dan peristiwa secara samar-samar, campur baur, bahkan ditambahi dengan bumbu yang kedongeng-dongengan.
Adalah wajar bila kisah tambo itu mengandung berbagai versi karena
tambo itu yang diceritakan oleh pencerita sesuai dengan keperluan atau
kehendak pendengarnya.
Subjektivitas dan Falsafah Minang Dalam Penulisan Tambo
Terlepas dari kesamaran objektivitas
historis dari Tambo tersebut namun Tambo berisikan pandangan orang
Minang terhadap dirinya sendiri. Sebagaimana dikatakan oleh Navis,
peristiwa sejarah yang berabad-abad lamanya dialami suku bangsa
Minangkabau dengan getir tampaknya tidaklah melenyapkan falsafah
kebudayaan mereka. Mungkin kegetiran itu yang menjadikan mereka sebagai
suku bangsa yang ulet serta berwatak khas. Mungkin kegetiran itu yang
menjadi motivasi mereka untuk menghapus sejarah masa silam dengan menciptakan tambo yang kedongeng-dongengan, disamping alasan kehendak falsafah mereka sendiri yang tidak sesuai dengan dengan falsafah kerajaan yang menguasainya.
Mungkin kegetiran hidup dibawah raja-raja asing yang saling berebut
tahta dengan cara yang onar itu telah lebih memperkuat keyakinan suku
bangsa itu akan rasa persamaan dan kebersamaan sesamanya dengan
memperkukuh sikap untuk mempertahankan ajaran falsafah mereka yang
kemudian mereka namakan adat.
Cerita Sentral Tambo Alam Minangkabau
Ringkasan cerita dalam Tambo Alam
Minangkabau adalah seputar pendirian masyarakat yang kini dikenal
sebagai Minangkabau. Cerita bermula dari pelayaran tiga orang anak raja
Iskandar Zulkarnain mencari wilayah baru. Salah seorang anaknya yaitu
Sri Maharajo Dirajo (yang menjadi titik sentral cerita) akhirnya
mendarat di puncak Gunung Marapi.
Dari sini lah Sri Maharajo Dirajo mulai membangun masyarakatnya yang
diawali dengan berpindah-pindah mencari tanah yang baik untuk ditempati
dan ditanami.
Selanjutnya keturunan-keturunan mereka yaitu Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang menciptakan aturan-aturan adat
untuk mengatur masyarakat yang semakin berkembang. Episode selanjutnya
diteruskan oleh tambo-tambo nagari yang tersebar di setiap nagari,
antara lain berkisah tentang asal muasal nenek moyang pendiri
nagari-nagari tersebut.
Naskah Semacam Tambo di luar Minangkabau
Daerah-daerah di Pesisir Timur Sumatera
dan Alam Kerinci juga memiliki naskah-naskah semacam tambo dengan tujuan
yang sama, diantaranya:
- Sejarah Malayu (Sulalatus Salatin) yang secara harfiah berarti Istana Para Raja. Kitab ini dipercaya di Semenanjung Malaysia dan Sumatera Selatan, tokoh sentralnya adalah Sang Sapurba (Sang Nila Utama Sri Tribuana) atau Raja Natan Sang Sita Sangkala serta Demang Lebar Daun. Sang Sapurba dipercaya sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain. Pada beberapa keterangan, Sang Sapurba ini disebut adalah orang yang sama dengan Dapunta Hyang Sri Jayanasa, pendiri Kerajaan Sriwijaya pada tahun 671 M.
- Tombo Lubuk Jambi, dipercaya oleh masyarakat Lubuk Jambi dan Kuantan. Tokoh utamanya masih Sang Sapurba, namun bedanya disini Sang Nila Utama disebut sebagai putra dari Sang Sapurba. Mitologi Lubuk Jambi ini berpusat pada cerita Kerajaan Kandis dan Kerajaan Koto Alang. Klimaks dari tombo ini adalah kekalahan Raja Aur Kuring dari Koto Alang dan menyingkirnya Patih dan Temenggung ke Gunung Marapi. Tombo Lubuk Jambi diceritakan turun-temurun secara rahasia atau dikenal sebagai Rahasio Penghulu.
- Tambo Alam Kerinci, dipercaya oleh masyarakat Kerinci. Tambo ini masih merunut pada Tambo Alam Minangkabau, meskipun tokoh utamanya telah bergeser menjadi Ninik Indar Bayang yang berangkat dari Pasumayan Koto Batu (Pagaruyung) menuju Alam Kerinci.
Masa Penulisan Tambo Alam Minangkabau
Kebanyakan naskah tambo ditulis setelah
masuknya agama Islam ke Minangkabau. Hal ini dibuktikan oleh tulisan
pada naskah yang hampir seluruhnya ber-aksara Arab Melayu. Penulisan
naskah secara besar-besaran diperkirakan dimulai setelah berakhirnya Perang Paderi atau setelah perjanjian Sumpah Sati Marapalam.
Sebelumnya cerita yang dituliskan pada naskah-naskah tambo ini
diturunkan secara turun-temurun dari para pemangku adat ke pemangku
adat, atau lebih dikenal dengan istilah warih nan bajawek.
Penghapusan Sejarah di dalam Tambo
Sebagaimana dikatakan oleh A.A Navis,
Tambo berisikan pandangan orang Minang terhadap dirinya sendiri. Di
dalamnya ada subjektivitas untuk menyamarkan objektivitas historis.
Penyebabnya antara lain adalah sejarah Minangkabau yang di masa lalunya
pernah menjadi target penguasaan bangsa lain. Majapahit pernah menyerang
Minangkabau dan Aceh pernah menduduki Pesisir Barat nya selama ratusan
tahun. Subjektivitas dalam penulisan tambo ini akhirnya menghasilkan
berbagai versi tambo yang beredar dan menyebar di masyarakat. A.A Navis
selanjutnya mengatakan “kisah tambo yang dipusakai turun-menurun secara
lisan oleh orang Minangkabau hanya mengisahkan waktu dan peristiwa
secara samar-samar, campur baur, bahkan ditambahi dengan bumbu yang
kedongeng-dongengan”. Walaupun demikian para penulis tambo tampaknya
sepakat bahwa tambo yang ditulis haruslah menyatukan pandangan orang
Minangkabau terhadap asal usul nenek moyang, adat, dan negeri
Minangkabau.
Penambahan Hikayat Islam dan Penghapusan Unsur Hindu-Buddha
Dikarenakan sebagian besar tambo ditulis setelah masuknya Islam, maka pada sebagian tambo seperti Tambo Alam Minangkabau
versi Datuak Sangguno Dirajo, hikayat-hikayat dan kisah-kisah yang
terkait Agama Islam mulai dicampurkan ke dalam tambo, misalnya cerita
soal Banjir Nabi Nuh, kisah Nabi Adam dan Puti Bidadari dari Sarugo. Pandangan keagamaan yang dianut Tarekat tertentu seperti Syatariah juga diintegrasikan ke dalam tambo seperti konsep Nur Muhammad yang dikenal dalam tasawuf.
Akibatnya beberapa unsur-unsur Hinduisme
dan Buddhisme yang dianut orang Minangkabau sebelumnya dengan sengaja
dihapus dari “cerita resmi”. Daerah Minangkabau sendiri secara keagamaan
termasuk unik. Berdasarkan catatan I Tsing yang berkunjung tahun 671 ke
Sriwijaya, ketika wilayah lain di Sumatera dikuasai Sriwijaya yang
menganut Budha Hinayana, wilayah Malayu
(proto Minangkabau) tidak diketahui menganut agama jenis apa. Namun
dari penghormatan penduduknya terhadap Gunung Marapi, ada indikasi bahwa
agama yang dianut adalah campuran Animisme dan salah satu cabang
Hinduisme. Sedangkan dari falsafah adat Lareh Koto Piliang dan Bodi
Chaniago, ditemukan unsur-unsur norma yang terdapat dalam ajaran
Hinduisme dan Buddhisme.
Praktek penghapusan unsur kedua kepercayaan masa lampau itu antara lain diwujudkan dengan penciptaan arti baru dari istilah-istilah kelarasan dan nama-nama nagari. Berikut adalah contohnya:
- Koto Piliang yang diberi arti baru yaitu Kata Pilihan, padahal akar katanya adalah Katta (benteng), Pili (dharma) dan Hyang (dewa), yang mencerminkan agama dan falsafah yang dianut pendirinya yaitu Hinduisme. Ada pula yang menerjemahkan Piliang dengan istilah banyak dewa. Pili mereka terjemahkan sebagai Pele/Poly (banyak). Tentu amat menggelikan ketika suku kata pertama diterjemahkan dari Bahasa Latin dan yang kedua dari Bahasa Sansekerta.
- Bodi Chaniago yang diberi arti baru Budi yang Berharga, padahal akar katanya adalah Boddhi (pohon boddhisatva) dan Can Yaga (tubuh yang bersila). Jadi dapat disimpulkan bahwa pendiri kelarasan ini adalah seorang penganut ajaran Buddha. Hal ini masih bisa dilacak dari falsafah-falsafah Bodi Chaniago dan ukiran-ukiran bermotif bunga teratai (simbol ajaran Buddha) pada rumah gadangnya.
- Pariangan yang diberi arti baru tempat beriang-riang, adahal akar katanya adalah Para Hyang (tempat dewa-dewa / tempat suci)
- Sangkayan yang diberi arti baru sangkak ayam, berasal dari kata Sanggha (jemaah) Hyang (dewa), pengikut dewa.
- Jambu Lipo yang diberi arti baru jan bu lupa, padahal asal katanya adalah Jambhu Dwipa (tanah asal)
- Dan banyak lagi seperti Sungayang (Sungai Hyang) dan Suruaso (Sri Suruwasa)
Meskipun demikian tambo-tambo ini masih
mengakui bahwa para nenek moyang yang datang ke Minangkabau berasal dari
sebagian daerah di India Selatan, meskipun tidak menyebut agamanya. Di
lain hal, gelar-gelar yang dipakai para pemangku adat dan datuak masih
mempertahankan istilah-istilah bernuansa India, semisal Maharajo
(Maharaj), Indo (Indra), Rajo Indo (Rajendra) dll. Sedangkan istilah
datuak sendiri adalah istilah asli Nusantara (bahasa Austronesia), yaitu
berasal dari kata Datu (pemimpin).
Penciptaan Tokoh Sentral
Seperti pada naskah-naskah serupa tambo
lainnya di pada beberapa daerah yang telah diulas di atas, Tambo Alam
Minangkabau juga memerlukan seorang tokoh sentral sebagai pemersatu.
Tokoh ini adalah Ninik Sri Maharajo Dirajo yang disebut sebagai putra
bungsu dari Raja Iskandar Zulkarnain di Tanah Rum. Dua tokoh pencipta
aturan adat Minangkabau yaitu Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah
Nan Sabatang adalah keturunan dari tokoh sentral ini.
Disinyalir kedua orang inilah yang
menciptakan cerita dan tokoh sentral Sri Maharajo Dirajo ini sebagai
landasan konstitusi Minangkabau. Cerita tentang pelayaran yang kemudian
mendarat di puncak Gunung Marapi berkemungkinan besar juga diciptakan
mereka berdua. Ada perbedaan antara Duo Datuak ini dengan Sri Maharajo
Dirajo, mereka berdua adalah tokoh historis dalam artian meninggalkan
bukti-bukti fisik (batu batikam) dan non-fisik (aturan adat dan
falsafah), sedangkan Sri Maharajo Dirajo dan beberapa pengiriangnya
masih merupakan tokoh legendaris.
Kekacauan Logika Antar Versi Tambo
Dengan banyaknya versi tambo yang
beredar, ditemukan beberapa ketidaksinkronan yang menyolok dalam tambo,
utamanya mengenai garis keturunan. Beberapa diantaranya:
- Tokoh Cati Bilang Pandai disebut dalam Tambo Datoek Toeah sebagai pandai mas yang membuat replika mahkota Sri Maharajo Dirajo yang dibuang saudaranya ke dalam laut. Cati Bilang Pandai kemudian dibunuh setelah menyelesaikan tugasnya. Anehnya pada kesempatan lain tokoh ini kembali muncul di Pariangan, dan menjadi suami kedua janda Sri Maharajo Dirajo. Disini dia disebut Indra Jati yang bergelar Cati Bilang Pandai.
- Harimau Campo, Kucing Siam, Kambing Hutan dan Anjing Mualim disebutkan sebagai pendekar-pendekar dan pendiri Silek Minang, namun di tempat lain keempatnya disebut sebagai perempuan pengiring yang sudah dianggap anak sendir oleh Sri Maharajo Dirajo. Cerita lain keempat orang ini melahirkan anak perempuan yang kemudian dikawinkan dengan 4 orang tukang perahu yang memperbaiki perahu Sri Maharajo Dirajo yang kandas di Pulau Jawa dekat Gunung Serang.
- Tokoh Datuak Katumanggungan disebut sebagai anak dari Sri Maharajo Dirajo dengan Indo Jalito (adik dari Datuk Suri Dirajo), dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang adalah anak dari Indra Jati (Cati Bilang Pandai) dan Indo Jalito. Pada kesempatan lain disebut ayah dari Datuak Katumanggungan adalah Sang Sapurba (Rusa Emas dari lautan).
- Tokoh Cati Reno Sudah, tiba-tiba muncul tanpa asal usul yang jelas, dan bertindak sebagai juru runding dengan seorang nahkoda dari laut. Ia diutus oleh Datuk Suri Dirajo dan memenangkan pertandingan adu kerbau yang terkenal itu dan dua teka-teki yang diajukan sang nahkoda.
- Tokoh Sang Sapurba (Rusa Emas dari lautan) atau Raja Natan Sang Sita Sangkala. Tokoh ini disebut juga dalam mitologi Palembang sebagai menantu Demang Lebar Daun. Entah sejak kapan pula tokoh ini muncul dalam Tambo Alam Minangkabau. Dalam buku Minangkabau Tanah Pusaka, disebutkan Datuk Suri Dirajo mengawinkan Sang Sapurba ini dengan adiknya yaitu Indo Jalito. Padahal Indo Jalito adalah istri dari Ninik Sri Maharajo Dirajo pada tambo-tambo arus utama. Otomatis dalam versi ini Sang Sapurba menjadi ayah dari Datuak Katumanggungan. Versi ini juga menyebutkan Sang Sapurba datang ratusan tahun setelah meninggalnya Ninik Sri Maharajo Dirajo. Lucunya yang memerintah pada masa itu adalah Datuk Suri Dirajo, orang yang sama yang ada di perahu Ninik Sri Maharajo Dirajo. Apakah Datuk Suri Dirajo bisa berumur ratusan tahun atau yang memerintah di zaman Sang Sapurba hanya keturunannya yang memakai gelar yang sama, tidak ada penjelasan lebih lanjut. Untuk membuat cerita versi ini rujuk dengan arus utama disebutkan pula bahwa Sang Sapurba akhirnya diberi gelar Sri Maharaja Diraja, gelar yang sama dengan nenek moyang pertama orang Minangkabau. Selanjutnya dibuatkan tempat ibadah dan candi untuknya ditempat yang kemudian bernama Pariangan (Par Hyangan = tempat menyembah dewa). Selanjutnya adalah kisah heroik ketika Sang Sapurba dapat mengalahkan Naga Sikati Muno (Shati Muna dalam mitologi Palembang). Setelah ini baru Sang Sapurba memerintahkan pencarian tanah-tanah baru untuk pemukiman dan berdirilah Nagari Sungai Tarab, Bungo Satangkai dll. Cerita selanjutnya sama. Dampak dimasukkannya tokoh Sang Sapurba ini kedalam tambo adalah terjadinya pergeseran waktu yang luar biasa antara mendaratnya Ninik Sri Maharajo Dirajo dengan pendirian Nagari Sungai Tarab. Inilah perbedaan yang amat mendasar antara tambo yang memuat Sang Sapurba dan yang tidak memuatnya.
- Tokoh Adityawarman. Dalam tambo versi Datuak Sangguno Dirajo Adityawarman dikisahkan sebagai seorang bergelar Sri Paduka Berhala yang datang dari laut menemui datuk yang bertiga di Pariangan (Lagundi Nan Baselo). Disaat itu timbul perbantahan diantara ninik yang bertiga mengenai Adityawarman. Datuak Katumanggungan mengatakan bahwa dia adalah raja, sedangkan menurut Datuk Parpatiah Nan Sabatang orang itu bukan raja melainkan mentri saja, dan menurut Datuk Sri Maharaja Nan Banego Nego orang itu hanya seorang utusan raja. Akhirnya datuk yang berdua menurut kepada apa yang dikatakan Datuk Katumanggungan karena beliau berniat akan mengambil orang itu sebagai semendanya. Adityawarman kemudian dikawinkan dengan adit Datuk Katumanggungan yang bernama Puti Reno Mandi, dan diberi gelar Sri Maharaja Diraja pula. Tambo versi ini akan membuat kesimpulan bahwa datuk yang berdua hidup sezaman dengan Adityawarman. Agaknya versi ini berusaha mencocok-cocokkan tambo dengan prasasti Padang Roco yang memuat nama Dewa Tuhan Perpatih yang diterjemahkan sebagai Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Tambo ini juga berusaha mencocok-cocokkan tahun peristiwa ini dengan masa Ekspedisi Pamalayu yang dicatat dalam Hikayat Raja-raja Pasai. Dalam hikayat tersebut disebutkan tokoh Patih Sewatang dari Minangkabau berhadapan dengan Patih Gadjah Mada dari Majapahit. Konsekuensi dari memasukkan penafsiran Sri Paduka Berhala sebagai Adityawarman adalah bergesernya latar cerita Ninik Sri Maharaja Diraja ke sekitar tahun 1000 M (Periode Dharmasraya), akibatnya hubungan keterkaitan Minangkabau dengan Kerajaan Malayu Tua (Minanga) yang eksis tahun 671 menjadi berantakan.
- Tokoh Dang Tuanku. Dang Tuanku sebenarnya tokoh dalam Kaba Cindua Mato, namun beberapa versi tambo dan cerita rakyat menafsirkan Dang Tuanku sebagai Adityawarman, dan Dara Jingga ibunya sebagai Bundo Kanduang. Dalam Kaba Cindua Mato tersebut ada peperangan antara Pagaruyung (sudah berbentuk kerajaan) dengan Sungai Ngiang (Kuantan Singingi) dimana berakhir dengan kekalahan Pagaruyung. Penafsiran ini agak sulit diterima akal karena Adityawarman adalah seorang panglima militer yang kuat pada zaman itu. Apalagi ia dididik di Majapahit dan pernah terlibat dalam pemadaman beberapa pemberontakan. Namun jika dihubungkan dengan Tombo Lubuk Jambi maka menurut mereka kisah Dang Tuanku ini terjadi pada abad ke 8 Masehi, sezaman dengan Kerajaan Koto Alang.
- Tokoh Indo Jalito. Indo Jalito punya banyak penafsiran pula, ia dikisahkan sebagai istri Ninik Sri Maharaja Diraja, sedangkan di lain tempat sebagai istri Sang Sapurba, bahkan ada yang menganggap dia adalah Bundo Kanduang itu sendiri.
- Tokoh Ananggawarman, putra dari Adityawarman. Dalam Tambo Pagaruyung tokoh ini disebut kawin dengan Puti Reno Dewi ( anak Datuk Katumanggungan dengan Puti Samputi). Mereka dikaruniai tiga anak perempuan yaitu Puti Panjang Rambut, Puti Salareh Pinang Masak dan Puti Bungsu. Sejak Ananggawarman mangkat tahun 1417 kepemimpinan di Pagaruyung khususnya Raja Alam telah dipegang oleh Datuk Bandaro Putih – Tuan Titah IV yang juga bergelar Rajo Bagewang I yang kemudian diteruskan oleh Yang Dipertuan Sutan Bakilap Alam.
Menyoal Tokoh Asing di dalam Tambo
Dari berbagai versi tambo tersebut
terjadilah sebuah jalinan cerita yang tidak logis baik secara alur,
genealogis maupun latar. Sumber kekacauan tersebut tidak lain adalah
keinginan sebagian penulis dan penafsir tambo untuk mencocok-cocokkan
tambo dengan data-data yang diambil dari prasasti dan legenda masyarakat
lain. Dari tokoh-tokoh yang dipaparkan di atas, setidaknya ada 3 tokoh
besar yang sebenarnya tokoh ‘asing’ dalam tambo yaitu Sang Sapurba,
Adityawarman dan Ananggawarman. Mereka dibawa ke dalam tema sentral
cerita tambo oleh dua kelompok berikut:
- Kelompok Pengagung Budaya Malayu Tua. Kelompok ini merasa perlu untuk mengintegrasikan Tambo Alam Minangkabau dengan mitologi dan sejarah masyarakat di Greater Melayu (Pesisir Timur, Sriwijaya, Malaka, Jambi). Analisa kelompok ini pada umumnya didukung oleh keturunan Minangkabau yang tinggal di Malaysia. Konsep Greater Melayu ini meyakini semua kerajaan yang pernah berdiri di Tanah Melayu, yaitu eks Sundaland (termasuk di dalamnya Minangkabau) saling terhubung dan kait berkait secara silsilah dari awal abad pertama Masehi sampai sekarang. Tokoh Sang Sapurba adalah simpul yang diperlukan untuk penyatuan kisah-kisah yang bertebaran di seluruh Tanah Melayu. Di Palembang ia dijadikan menantu Demang Lebar Daun, di Bintan dia mengawinkan anaknya dengan putri Raja Bintan, di Kuantan dia diangkat jadi raja dan di Minangkabau dia “dijerat”, dijadikan semenda oleh Datuak Suri Dirajo. Pengintegrasian Sang Sapurba ke dalam Tambo Alam Minangkabau dilakukan dengan cara menafsirkan Rusa Emas yang datang dari laut sebagai dirinya.
- Kelompok Pengagung Kerajaan Pagaruyung (keluarga bangsawan Pagaruyung). Kelompok ini mengeluarkan Tambo Pagaruyung pada tahun 1970 yang sudah memuat nama Adityawarman. Sebelum penemuan Prasasti Padang Roco dan Arca Amoghapasa di Nagari Siguntur pada tahun 1911, tidak ada ditemukan kemunculan nama Adityawarman dalam tambo-tambo yang beredar di Minangkabau. Kelompok Pagaruyung sangat bersemangat merevisi tambonya (atau lebih tepat mengarang tambonya) setelah satu persatu batu basurek (prasasti) yang dibuat Adityawarman ditemukan dan dapat diterjemahkan. Seluruh isi Tambo Pagaruyung kemudian dikonsep ulang supaya cocok dengan fakta-fakta sejarah yang terukir di prasasti. Bahkan teori terbaru dari kelompok ini menyebutkan bahwa Kerajaan Pagaruyung pada dasarnya adalah fusi/persatuan dari 3 dinasti kerajaan yang telah ada sebelumnya, yaitu Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Dharmasraya dan Kerajaan Gunung Marapi. Ketiganya di bawah Adityawarman diintegrasikan dalam satu kesatuan yaitu Kerajaan Malayapura. Tampaknya kelompok Pagaruyung berusaha pula rujuk dengan kelompok Greater Malayu dengan menggandeng Sriwijaya sebagai salah satu nenek moyangnya. Sang Sapurba oleh beberapa penafsir juga diakui sebagai nama asli dari Dapunta Hyang, pendiri Kerajaan Sriwijaya yang masih misteri itu.
Penutup
Dari ulasan diatas dapat kita pahami
sebab musabab terjadinya kekacauan logika dan versi yang berupa-rupa
dari tambo yang beredar di Minangkabau. Menurut A.A Navis, adalah wajar
bila kisah tambo itu mengandung berbagai versi karena tambo itu yang
diceritakan oleh pencerita sesuai dengan keperluan atau kehendak
pendengarnya. Dus pada akhirnya kita pun sudah tahu bahwa tambo bukanlah
sejarah, melainkan semacam kitab konstitusi yang dibuat pertama kali
oleh Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang untuk
menyatukan pandangan orang Minangkabau terhadap asal usul nenek moyang,
adat, dan negeri Minangkabau itu sendiri.
Upaya mencocok-cocokkan tambo dengan
sejarah etnik lain dan prasasti tidak akan serta merta membuat tambo
menjadi dokumen sejarah, apalagi jika upaya tersebut dicampuri pula
dengan egoisme kelompok atau egoisme keilmuan. Usaha ini hanya akan
menjadi sebuah karya yang prematur yang akan ditemukan cacatnya di
kemudian hari, bak kata pantun adat berikut ini:
Bulek ruponyo daun nipah
Buleknyo nyato bapasagi
Diliek rupo indak barubah
Dibukak tambuak tiok ragi
Marilah kita mulai penelitian baru dengan
menempatkan tambo (dan juga warisan kehidupan yang lain seperti nama
tempat, bahasa, adat kebiasaan, arsitektur, musik, kuliner, kesenian,
pakaian) sebagai pembangun konteks, bukan cetak biru sejarah yang akan
direka-reka.
Catatan Kaki:
Sang Sapurba dalam Mitologi Kuantan
Ketika Sang Sapurba datang, Kerajaan
Kuantan tidak memiliki raja. Oleh sebab itu, kedatangan Sang Sapurba
disambut gembira oleh rakyat Kuantan, baik para pembesar, pemuka
masyarakat, maupun rakyat jelata. Kemudian, mereka sepakat mengangkat
Sang Sapurba menjadi raja, dengan persyaratan, Sang Sapurba bersedia
membunuh Naga Sakti Muna yang telah merusak ladang milik rakyat
Sang Sapurba kemudian memerintahkan
hulubalangnya, Permasku Mambang untuk membunuh sang naga dengan berbekal
sundang (pedang modern) pemberian Sang Sapurba. Hulubalang Permasku
Mambang berhasil membunuh naga tersebut, sehingga Sang Sapurba diangkat
menjadi raja di Kuantan dengan gelar Trimurti Tri Buana.
Sumber: http://mozaikminang.wordpress.com
Comments