ENAM puluh enam tahun silam, negeri ini lepas dari belenggu
penjajahan berkat anak-anak muda. Mereka memang masih ingusan. Tapi
tidak dengan daya ledak serta semangat yang menyala-nyala. Anak-anak
muda itu datang berbondong-bondong laksana air bah dan mendesak Soekarno
untuk segera menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Enam puluh enam tahun silam, tanggal 15 Agustus 1945, para pemuda itu datang dengan kepala panas dan menantang Soekarno. ”Sekarang Bung, sekarang! malam ini juga kita kobarkan revolusi !” kata
pemuda Chaerul Saleh demi meyakinkan Bung Karno bahwa ribuan pasukan
bersenjata sudah siap mengepung kota dengan maksud mengusir tentara
Jepang. ”Kita harus segera merebut kekuasaan !” tukas Sukarni berapi-api. ”Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami !” seru mereka bersahutan. Wikana malah berani mengancam Soekarno dengan pernyataan; ”Jika
Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan
berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan
besar-besaran esok hari .”
Soekarno langsung ikut naik darah dan berdiri menuju Wikana sambil berkata: ”Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari !”. Hatta kemudian memperingatkan Wikana; “…
Jepang adalah masa silam. Kita sekarang harus menghadapi Belanda yang
akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di negeri kita ini. Jika
saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan, dan mengira
bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan,
mengapa saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri ?
Mengapa meminta Soekarno untuk melakukan hal itu ?”
Namun, para pemuda terus mendesak, ”Apakah kita harus menunggu
hingga kemerdekaan itu diberikan kepada kita sebagai hadiah, walaupun
Jepang sendiri telah menyerah dan telah takluk dalam ‘Perang Sucinya
‘!”. ” Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang memproklamasikan
kemerdekaannya ? Mengapa bukan kita yang menyatakan kemerdekaan kita
sendiri, sebagai suatu bangsa ?”.
Dengan lirih, setelah amarahnya reda, Soekarno berkata, “…
kekuatan yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan
bersenjata dan kesiapan total tentara Jepang! Coba, apa yang bisa kau
perlihatkan kepada saya ? Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu ?
Apa tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan
anak-anak ? Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah
diproklamasikan ? Kita tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau
Sekutu. Coba bayangkan, bagaimana kita akan tegak di atas kekuatan
sendiri “.
Hari ini, enam puluh enam tahun setelahnya, para
pemuda masih memainkan peran yang menjadi sorot media. Mereka tidak lagi
memberondong pemimpin pergerakan dengan kalimat penuh idealisme serta
khas anak muda; serba menghantam kiri kanan. Kini, anak-anak muda itu
disorot media karena perkara korupsi dan memperkaya diri sendiri.
Anak-anak muda itu masih belia, namun telah mengemban peran sebagai
ketua partai politik. Di pundak mereka terselip peran sejarah yang
besar. Sayang sekali karena mereka lebih memilih memperkaya diri hingga
saling tuding dengan sesamanya.
Enam puluh enam tahun kemerdekaan. Anak-anak muda telah lama bersalin
rupa dengan gincu dan pakaian mahal. Anak muda telah lama kehilangan
hulu ledak semangat pergerakan. Anak muda sibuk menghamba pada kekuasaan
dan rela mengeluarkan miliaran dana negara demi memperkaya diri. Anak
muda yang rela berkolusi dengan siapapun demi memenangkan kuasa di
partai politik. Anak muda yang di masa muda telah mencemarkan
mimpi-mimpi tentang kemerdekaan sebagai gerbang emas menuju kehidupan
yang lebih baik.
Enam puluh enam tahun kemerdekaan. Anak muda yang tampil ke depan
bukanlah mereka yang disebut Chairil Anwar sebagai mereka yang masuk
menemui malam dan di siang hari berpanas-panas ria demi sebuah tuntutan.
Anak muda yang tampil ke panggung sejarah adalah anak muda yang dahulu
menjadi putri kecantikan dengan gincu dan pupur. Anak muda, seorang
mantan putri Indonesia, yang hari ini telah mengemis-ngemis demi apel
Washington dan segepok uang dollar.
Enam puluh enam tahun kemerdekaan. Anak muda yang tampil adalah para
broker politik. Mereka yang memperkaya diri melalui proyek-proyek besar
hasil kongkalikong dengan penguasa. Anak muda yang bersinar adalah anak
muda yang mengendarai mobil-mobil mewah, pandai menyelipkan segepok uang
ke ketiak banyak orang, pandai bersalin-rupa demi mempertebal
pundi-pundi. Dan kehilangan ksatria ketika memilih melarikan diri
ketimbang menghadapi pengadilan sembari menyusun pleidoi ala Soekarno
muda yang berjudul Indonesia Menggugat, sebuah pleidoi yang hingga kini tetap menggetarkan.
Enam puluh enam tahun kemerdekaan. Masihkah tersisa kebanggaan pada anak-anak muda negeri ini?
sumber: http://hminews.com
Related Posts
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Comments