Pada masa dahulu
kala diwaktu penduduk pribumi di daerah alam Minangkabau sekarang masih
dalam keadaan primitive sekali, yakni dalam keadaan “prohomasquiteit”,
dimana belum ada hukum dan peraturan yang mengatur hidup dan menyusun
masyarakat setempat, yang zamannya pada waktu itu
tidak dapat
diketahui dengan pasti apakah zaman itu zaman prasejarah, atau zaman
batu maupun zaman besi yang jelas penduduk pribumi pada waktu itu masih
hidup secara liar, belum mempunyai rumah untuk tempat diam yang
teratur, belum bersawah dan berladang, belum beternak ayam dan itik,
belum memelihara kerbau dan jawi, banteng, belum hidup ber-kelompok2,
belum hidup ber-puak2 bahkan belum ber-suku2 seperti masyarakat alam
Minangkabau sekarang ini.
Sehingga menjadi omongan bagi orang Minangkabau sampai sekarang
“ Waktu gunung Merapi sebesar telur itik”
Yang maksudnya ialah bahwa ilmu pengetahuan dan kebudayaan di daerah Minangkabau sekarang ini pada waktu belum
ada sama sekali, yang sudah ada hanya kodrat alam se mata2 dimana
mungkin penduduk pribumi dimasa itu masih berdiam di gua2 batu memakan
umbi2 kayu dan memburu binatang2 liar dihutan yang lebat.
Kalaupun
sudah ada padi, jagung dan ber macam2 umbi2 kayu dan akar lainnya, maka
semuanya itu adalah jenis tumbuh2an yang hidup secara liar, dan belum
teratur perencanaannya seperti sekarang ini, dan kemudian diaturlah dan
dikumpulkanlah biji2 tumbuh2an tersebut dan dimulailah menanamnya secara
teratur dengan membuka hutan perladangan atau perhumaan,menurut
kebutuhan keluarga masing2 yang lama kelamaan ber ansur2lah membuka
ladang padi, ladang jagung, ladang umbi2 kayu dan akar lainnya dihutan
yang dibuka baru disekitar tempat kediamannya yang masih sangat primitif
sekali kalau dibandingkan dengan keadaan masyarakat sekarang ini.
Manakalah
di tempat2 perladangan itu sudah panen, dan mereka anggap tanahnya
kurang subur lagi untuk tanam2an maka dibuka pulalah hutan yang baru
ditempat yang lain yang dianggap baik, yang biasanya tanah hutan dan
perhumaan itu, dipilih yang dekat ke pinggir2 sungai atau dikaki bukit
dan pegunungan, yang dapat memberi penghidupan yang mudah dan layak bagi
mereka seperti perlindungan dari ancaman2 binatang buas, serta
memudahkan pengangkutan dengan jalan air dan sesuai pula dengan
kehidupan mereka yang selalu ber-pindah2 dari satu tempat ketempat yang
lain yang agak berjauhan letaknya.
Sebab
apabila salah seorang dari keluarganya meninggal dunia dan dikuburkan
ditempat itu, maka mereka harus meninggalkan tempat itu karena menurut
anggapan mereka tempat itu adalah sial dan kurang baik untuk didiami
selajutnya.
Sisa2
dari penduduk pribumi ini masih dapat kita lihat sampai sekarang ini
seperti orang Talang Mamak di Indragiri, orang Kubu didaerah Jambi,
orang Kampar didaerah Pasaman dan orang Sakai di daerah Pakanbaru yang
semuanya mengaku berasal dari tanah Minangkabau sekarang ini.
Mereka
mempunyai adat istiadat tersendiri dan lebih murni, dan tidak suka
menerima adat istiadat dan kebudayaan baru dari para pendatang2 yang
telah mempunyai banyak kemajuan dalam segala hal dari mereka itu, dan
mereka lalu melarikan diri ke hutan2 yang lebat yang belum pernah
dijamah oleh manusia lainnya, demi untuk menghidarkan diri dari
pengaruh2 kebudayaan yang dibawa oleh pendatang2 baru itu yang akibatnya
ternyata sampai sekarang masih biadab tempatnyapun jauh terpisah dari masyarakat ramai.
Seandainya
tempatnya yang sekarang ini -dalam hutan- terancam oleh bahaya atau
oleh pihak lainnya, karena sumber kekayaan alam ataupun oleh karena
perluasan kota dan lain2 keperluan bagi masyarakat dan Negara maka
mereka tidak keberatan pergi lagi dari situ meninggalkan tempat asalnya,
dan pindah lagi ketempat lain, kehutan belentara yang jauh terpencil
letaknya dan belum pernah ditempuh dan dijamah oleh tangan manusia
lainnya.
Demikianlah
gambaran perikehidupan mereka dari satu masa kemasa yang lain dengan
tidak mendapat kemajuan sedikitpun dalam kehidupan bermasyarakat, sampai
datang satu masa pembaharuan dengan datangnya rombongan dari arah
timur, mungkin melalui kerajaan Sriwijaya di Palembang dan kerajaan
Melayu di Jambi, yang telah sampai ditanah Minangkabau sekarang ini,
lalu mengangkat dirinya menjadi Raja pertama dengan nama kebesaran
“ Datuk Suri Maharaja Diraja”
Datang
bersama para pengiringnya dengan perlengkapan yang cukup banyak dan
beraneka ragam dengan mengambil tempat pertama untuk bersemayam di:
“Sumpur Kudus”
Menurut
sahibul hikayat maka adalah Raja Rum (Rumania) sekarang ini , mempunyai
3 (tiga) orang putera: yang tua bernama “Sulthan Maharaja Alif”, yang
tengah bernama “ Sulthan Maharaja Depang”, yang bungsu bernama “Sulthan
Maharaja Diraja”.
Menurut
undang2 kerajaan berdasarkan silsilah keturunan, anak yang tertua harus
diangkat menjadi putera mahkota untuk kemudiannya menjadi raja
menggantikan ayahandanya apabila sudang mangkat.
Dalam hal ayahandanya tidak menyukai putra tertua, tapi menginginkan puteranya yang bungsu untuk menggantikannya kelak apabila sudah mangkat.
Untuk
itu maka Raja Rum menyuruh ketiga puteranya itu pergi merantau untuk
mendapatkan benua baru yan masing2nya diperlengkapi dengan sebuah
bahtera atau kapal dengan beberapa pengiring dan dayang2 penginang dan
juga kepada masing2 puteranya itu diberikan pula sebuah”Mahkota”
kerajaan dari emas 14 mutu bertahtahkan mutu manikam dan amat bagus
bentuknya.
Pada waktu masa dan waktu yang telah ditetapkan, maka berlayarlah ke tiga2 putera Raja Rum itu menurut tujuan masing2.
Tidak
beberapa lama dalam pelayaran, maka putera Raja yang tertua bernama
“Sulthan Maharaja Alief, lalu memutar haluannya kembali ke benua Rum dan
setelah sampai di istana, lalu menghadap ayahandanya dengan menyatakan
kesanggupan hatinya bahwa dia tidak tega dan tidak sampai hati untk
meninggalkan ayahandanya seorang diri.
Putera
raja yang tengah bernama “Sulthan Maharaja Depang” karena mendapat
angin baik, menujukan bahteranya kea rah Timur dan mendarat dibenua
Tiongkok.
Sedangkan
putera yang bungsu yang bernama “Sulthan Maharaja Diraja” sesampainya
dilaut Sailan dihantam badai dan topan sehingga mahkotanya jatuh kedalam
laut dan dilingkari oleh ular naga yang besar di dasar laut.
Oleh
karena takut kepada ayahandanya Raja di benua Rum, akan kehilangan
mahkotanya itu, maka berundinglah Sulthan Maharaja Diraja dengan para
pembesar yang mengiringinya, bagaimana caranya untuk mendapatkan kembali
mahkota yang telah hilang jatuh kedalam laut itu. Maka mengemukakan
dirilah salah seorang dari para pengiringnya yang sangat setia yang
bernama” Cateri Bilang Pandai” dan mengusulkan kepada tuannya supaya
dibuatkan saja mahkota yang baru yang menyerupai dan serupa benar dengan
mahkota yang jatuh kedalam laut itu
Setelah
usul dari Cateri Bilang Pandai ini diterima baik oleh tuannya, maka
kerjalah Cateri Bilang Pandai siang dan malam membuat dan meniru mahkota
yang telah jatuh kedalam laut itu dengan memakai cermin terus untuk
dapat sebentar2 melihat kedalam laut untuk meniru dan meneladan mahkota
yang asli itu.
Setelah selesailah dari membuat mahkota yang baru itu, yang serupa benar dengan mahkota yang hilang tiada cacat tiada
bandingan, maka berlayarlah mereka bagi meneruskan perjalanan untuk
mencari benua baru sebagaimana yang dititahkan ayahandanya Raja di benua
Rum dahulu.
Setelah
angin tenang riak selesai, maka dari jauh kelihatan dan tampaklah
ibarat sebuah titik hitam, lalu bahtera mereka tujukan kesana, maka
sampailah rombongan mereka itu kepuncak Siguntang mahameru (sebuah
puncak yang tinggi di Sriwijaya Palembang)
Oleh
karena ditempat itu sudah banyak orang dan memakai alat2 kebesaran
pula, maka Sulthan Maharaja Diraja lalu membawa para pembesar dan
pengiringnya meninggalkan tempat itu, dan secara ber angsur2 bergerak
memudiki sungai, dan setelah sekian lama akhirnya sampailah rombongan
Sulthan Mahraja Diraja itu kepada suatu tempat yang datar, sesayup mata
memandang , dan beristirahatlah mereka ditempatitu, dipinggir sebuah
sungai Batang Sinamar, didirikanlah istana yang pertama bertempat di
Sumpur Kudus.
Oleh
karena rakyat yang akan diperintahi belum ada, hanyalah para pembesar
dan para pengiring serta abdi dalam dan dayang2 pengiring saja, maka
Sulthan Maharaja Diraja memaklumatkan dirinya sebagai seorang ketua yang
akan ditiru diteladani oleh para pengikutnya, lalu mengangkat dirinya
menjadi “ Datuk Suri Maharaja Diraja” dan bersemayamlah beliau itu
bersama para pembesar dan para pengiringnya serta dayang2 penginang
ditempat itu beberapa lamanya sementara mencari tempat yang lebih baik
demi untuk melanjutkan cita2 ayahandanya.
Dizaman prohomoscuiteit itulah Raja dan keluarga beserta para pengiring2nya bermukim beberapa lama ditempat itu (Sumpur Kudus).
Rupanya
Raja belum merasa puas oleh karena buaya2 yang selalu saja mengganas
dan mengganggu keamanan keluarganya maka batang air Sinamar darimana
datangnya buaya2 itu merayap, lalu Raja memerintahkan untuk memagar
batang air itu dengan KAYU RUYUNG, guna mencegah bahaya dan menjaga
keamanan dari buaya2 itu.
Itulah yang menjadi pokok sangkal nama “PAGAR RUYUNG”,disitulah tempatnya Pagaruyung yang asli, tempat istana Raja yang mula2 sekali, sebelum memasuki daerah Minangkabau yang sekarang ini.
Dikemudian
hari istana Pagaruyuang di Sumpur Kudus itu, dijadikan tempat
bersemayamnya Raja Ibadat di Kampung Tengah negeri Pagar Ruyung sekarang
ini (Raja 3 selo)
Oleh
karena tidak juga mendapat kemajuan, sedangkan tempat kurang strategis
untuk dijadikan pertahanan Nagari maka bermufakatlah Raja dengan para
pengiringnya mencahari tempat yang baik untuk menetap yang memenuhi
syarat2 untuk bersemayam dan tempat diam.
Maka
berangkatlah Raja beserta pengiring2nya menuju kearah Barat, ketempat
yang tinggi letaknya supaya dengan mudah dapat memandang kesegala
jurusan, untuk dapat memiliki tempat yang baik.
Ranah
mana yang akan dihuni, lembah mana yang akan didiami, untuk dijadikan
benteng pertahanan Negara yang strategis untuk dapat melanjutkan dan
mengembangkan sayap pemerintahan selanjutnya.
Setelah
beberapa hari dalam perjalanan, maka sampailah raja beserta
pengiringnya ketempat yang tinggi itu dengan penuh bersukaria dan
beriang2 mungkin karena pemandangannya yang sangat indah dan menarik
hati, dengan menamakan tempat itu “Pariangan” dan tinggalah Raja beserta
pengiringnya ditempat itu beberapa lamanya dengan membuat “sawah
satampang baniah” dekat gelunde nan baselo dan mendirikan “Balai2 nan Sa
Ruang” untuk tempat bersanding dan bermusyawarah mengenai segala
sesuatu yang akan dilakukan demi kepentingan Kerajaan yang akan
dibangun.
Setelah
beristirahat ditempat itu beberapa lamanya dan be runding2
bermusyawarah di Balai nan Saruang, dengan menyisipkan pedang panjang
sebagai senjata untuk menjaga keselamatan dan keamanan dari gangguan
binatang2 buas, dan dikemudian hari dimasyhurkan nama tempat itu dengan
“Pariangan Padang Panjang”
Raja
memerintahkan beberapa orang untuk pergi meninjau kesegala jurusan
untuk mencari tempat yang baik, guna dijadikan tempat yang tetap untuk
bersemayam dan untuk mendirikan istana Kerajaan.
Setelah
para peninjau kembali dengan membawa pendapatnya masing2 sebagai
laporan,maka atas persetujuan bersama didapatkanlah tempat yang baik dan
strategis yaitu dikaki/dilembah Bukit Batu Patah diranah Gunung Bungsu
dengan dilingkari sebuah sungai Batang Selo, dengan sebidang Padang
Rumput yang luas dengan nama Padang Siminyak .
Sebelum
berangkat menuju ketempat yang baru, maka untuk menjaga dan mendiami
tempat yang sudah ada di Pariangan, diangkatlah dengan suara bulat dan
disetujui oleh Raja yakni “ Datuk Bandaharo Kayo” menjadi Datuk Pucuk
Bulat yang akan bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan didaerah
Pariangan Padang Panjang untuk masa2 selanjutnya.
Setelah
segala sesuatunya siap dan perlengkapan sudah diatur dan segala
keperluan sudah tersedia,maka berangkatlah rombongan Raja itu beserta
pengiringnya, menuju Ranah yang telah ditetapkan bersama di Pariangan
Padang Panjang tadi, dan sebelum sampai ketempat yang dituju, maka
malamlah hari, dan Raja beserta pengiringnya berkenan untuk istirahat
pada suatu tempat yang baik dan sesuai untuk mereka.
Pada
esok harinya setelah Raja melihat2 dengan seksama, Raja agak heran dan
tercengang memperhatikan tempat itu, karena penduduk ditempat itu agak
ramai dan teratur dari tempat2 yang pernah dilalui Raja sebelumnya, dan
setelah penduduk disitu mengetahui akan kedatangan Raja dan rombongannya
itu maka datanglah penduduk be ramai2 menghadap Raja dengan segala
kehormatan yang mereka miliki dan mereka mengatakan niat baik dan hasrat
mereka untuk membawa Raja bertempat tinggal ber sama2 mereka ditempat
itu.
Tapi
sayang sekali Raja dan rombongannya belum sampai kepada tujuannya, yang
telah beliau rencanakan semenjak dari Pariangan Padang Panjang dahulu.
Oleh
karena begitu besar kecintaan penduduk ditempat itu kepada Raja,
sedangkan Raja telah mulai pula terpengaruh oleh sikap yang baik dan
sopan santun dari penduduk disana,maka Raja tidak pula sampai hati
meninggalkan mereka begitu saja, lalu menikahlah Raja disitu dengan
seorang penduduk pribumi ditempat itu yang dianggap pantas untuk seorang
Raja.
Kemudian
Raja dengan keluarga dan pengiring2nya melanjutkan perjalanan mereka
sampai ditempat yang dituju, dan sebelum berangkat meninggalkan tempat
itu , Raja telah menganugerahkan nama kepada tempat itu –tempat istrinya
tadi-, oleh karena memenuhi syarat sebagai dusun, maka dinamakannya
oleh Raja tempat itu dengan nama yang masyhur sampai kini “DUSUN TUO”
yaitu dusun yang tertua diseluruh alam Minangkabau
Sesampainyai
Raja ditempat yang dituju bersama keluarga dan pengiring2nya, maka
dipilihlah tempat yang baik dan cukup strategis , didinding oleh Bukit
Batu Patah Selo, oleh sebuah sungai Batang Selo, maka didirikanlah
disana sebuah istana tempat Raja bersemayam dan selanjutnya untuk
memerintah, dengan tidak melupakan hal2 yang terjadi selama di Sumpur
Kudus dahulu, sebagai pengalaman yang pahit dan untuk selalu menjadi
kenang2an sampai ke anak cucu dikemudian hari, maka dinamakanlah tempat
istana Raja itu dengan nama PAGAR RUYUNG, dan selanjutnya kerajaan yang
telah mulai diatur pemerintahannya itu dinamakan “Kerajaan Pagaruyung” .
Kemudian
Raja mulai menyusun pegawai stafnya untuk memerintah executive dipegang
oleh Raja dan Legislatif dipegang oleh BASA 4 BALAI, yang dapat
disamakan dengan para menteri yang lansung bertanggung jawab kepada
Raja.
Raja
sendiri oleh karena menemui beberapa kesulitan menghadapi rakyat yang
mempunyai adat istiadat yang ber beda2, juga agama yang ber lain2an
pula, maka diangkatlah oleh Raja 2(dua) orang pembantu dekatnya masing2
RAJA ADAT dan RAJA IBADAT, sedangkan Raja sendiri menjadi RAJA ALAM ,
inilah yang dinamakan dengan RAJA TIGO SELO, atau TUNGKU TIGO
SAJARANGAN.
Raja2 ini mempunyai istana sendiri2, masing2 nya:
- Raja Alam, mendirikan istana di Balai Gudam.
- Raja Adat, mendirikan istana di Balai Janggo dan
- Raja Ibadat, mendirikan istana di Kampung Tengah.
Ke tiga2 istana Raja ini bertempat dinegeri Pagaruyung.
Dalam
status pemerintahannya, Raja Adat bersemayam di BUO LINTAU, dan
istananya di Balai Janggo, adalah istana untuk kaum keluarganya.
Begitupula
dengan Raja Ibadat, dia bersemayam dan memerintah di SUMPUR KUDUS
sedangkan istananya yang di Kampung Tengah adalah istana untuk kaum
keluarganya yang tinggal di Pagaruyung.
Berlainan
dan berbeda dengan Raja Alam yang bersemayam dan memerintah istananya
di Balai Gudam, Pagaruyung untuk seluruh daerah kerajaannya.
Pemerintah disusun menurut Konstitutie, yaitu: Raja dibantu oleh para menteri, dan Perdana Menteri menyampaikan maklumat Raja.
Para menteri atau Basa 4 Balai itu adalah sbb:
- Penitahan, di Sungai Tarab bergelar Datuk Bandaharo Putih, sebagai Mangkubumi atau Perdana Menteri.
- Payung Panji, di Saruaso, bergelar Tuan Andamo, sebagai menteri Penerangan.
- Suluh Bendang, di Padang Ganting begelar tuan Qadhi sebagai menteri Agama dan Kebudayaan
- Harimau Campa, di Batipuh bergelar Tuan Gadang atau Datuk Pamuncak Alam nan Sati sebagai menteri Pertahanan.
- Alung Bunian, di Sumanik bergelar Tuan Machudum, sebagai Menteri Keuangan (tdk termasuk Besar 4 Balai)
- Gajah Gadang Patah Gading, di Lima Kaum, bergelar Datuk Bandaharo Kuning sebagai Menteri Negara
Keenam
orang Besar Minangkabau ini, semua terletak didaerah Tanah
Datar.Diatas, dari Andalas BaruhBukit sampai Andalas Sikaladi Padang
Panjang.
Mengenai
Luhak nan Tigo Laras Nan Duo di alam Minangkabau terjadinya adalah
kemudian, bersama dengan pengangkat Sulthan2 di daerah rantau dan
bandar2 yang takluk kepada Kerajaan Pagar Ruyung melebarkan sayap
pemerintahannya keseluruh negeri Luhak dan Rantau.
Sementara
itu disusun diaturlah pula pemerintahan disekitar tempat2 yang agak
ramai didiami manusia, yang kebanyakan hanya berstatuskan dusun dan
taratak, dilembah2 yang subur yang dilalaui sungai2 dan batang air yang
dihubungkan dengan jalan2 setapak dan jalan air, dengan mempergunakan
perahu2 dan kuda beban.
Dari
perkawinannya Raja Datuk Suri Maharaja Diraja, dahulu di Dusun Tuo,
telah lahir seorang putera yangdiberi nama “Sulthan Malikul
Besar”,bergelar“DATUK KETEMENGGUNGAN ”, yang kemudian menjadi Raja Pagar
Ruyung sebagai Raja yang terakhir dari dinasti “ Datuk Suri Maharaja
Diraja”
Setelah
Datuk Ketemenggungan berumur beberapa tahun, maka terjadilah per
ceraian antara Datuk Suri Maharaja Diraja dengan ibunda Datuk
Ketemenggungan dan ibunda serta Datuk Ketemenggungan dihantar kembali ke
Dusun Tuo negeri Lima Kaum.
Kemudian ibunda Datuk Ketemenggungan kawin dengan Cateri Bilang Pandai, sebagai pengganti mengawini janda Raja yang bukanlah seorang bangsawan, maka perkawinan ini sangat dirahasiakan/disembunyikan kepada khalayak ramai.
Dari
perkawinannya ibunda yang kedua ini, lahirlah pula seorang laki2 yang
diberi nama: Sutan Balun bergelar DATUK PERPATIH NAN SABATANG.
Itulah
sebabnya kebanyakan orang LimaKaum. berpendapat bahwa bapak Sutan Balun
Datuk Perpatih Nan Sabatang adalah “jin”, karena kebanyakan orang Lima
Kaum sendiri tidak mengetahui tentang perkawinan ibunda yang kedua ini,
karena dirahasiakan dan ditutup kepada orang ramai, oleh karena bapaknya
Cateri Bilang Pandai, bukanlah seorang turunan Bangsawan.
Maka kedua bersaudara ini sama2 berangkat besar
Menjadi
pemuda dewasa, yang selalu bertengkar karena berlainan keturunan, yang
sulung anak seorang Bangsawan, sedang yang bungsu adalah anak seorang
biasa walaupun hanya ibunya dari perempuan yang satu.
Dalam
pergaulan se hari2 kedua bersaudara seibu ini selalu bertengkar, Datuk
Ketemenggungan bahkan selalu menghina adiknya Datuk Perpatih Nan
Sabatang dengan mengatakan bahwa dia adalah anak seorang Raja, sedangkan
adiknya tidak berbapak, yang maksudnya tidak berbapak Bangsawan seperti
dia, sampai2 Datuk Perpatih Nan Sabatang disuruh menyembah kepadanya,
sebagaimana orang biasa menyembah kepada ayahandanya yang menjadi Raja
di PagaRuyung.
Datuk
Perpatih tidak mau melakukan hal itu karena beliau berpendaapat bahwa
“Apa bedanya Datuk dengan saya, ibu kita adalah satu walaupun bapakkita
berlainan, nyatanya kelahiran (fithrah) kita juga sama, yang sama2
dilahirkan berdarah dari rahim ibu kita yang satu, dan walaupun
Datukputera seorang Raja, tapi kelahiran Datuk dari perut ibu kita juga
tidak membawa Mahkota dan baju emas”
Demikianlah
pertengkaran2 demi pertengkaran berlansung terus, dimana Datuk
Ketemenggungan selalu menekan Datuk Perpatih Nan Sebatang dalam segala
hal, dan Datuk Perpatih Nan Sebatang juga merasa tertekan
oleh Datuk Ketemenggungan dalam segala bidang, sehingga Datuk Perpatih
Nan Sebatang menjadi matang sendiri dalam berpikir, berbuat dan bahkan
selalu menentang kemauan2 Datuk Ketemenggungan yang monarchi/absolute.
Kemudian
Datuk Perpatih Nan Sebatang mulai berpikir dan berpikir terus, sehingga
mendapatkan sesuatu jalan atau idea, untuk menentang paham otokrasinya
Datuk Ketemenggungan dengan paham demokrasinya Datuk Perpatih Nan
Sebatang yang masyhur dengan mengambil keturunan dari
pihak ibu, karena ibunyalah satu2nya yang dapat dibanggakannya, dengan
sifat : MATRIARCHAAT. sedangsebaliknya Datuk Ketemenggungan mengambil
keturunan dari pihak PATRIARCHAAT.
sumber: http://www.bougenvillehotel.com
Comments