1. Pandangan Terhadap Hidup
Tujuan
hidup bagi orang Minangkabau adalah untuk berbuat jasa. Kata pusaka
orang Minangkabau mengatakan bahwa “hiduik bajaso, mati bapusako”. Jadi
orang Minangkabau memberikan arti dan harga yang tinggi terhadap hidup.
Untuk analogi terhadap alam, maka pribahasa yang dikemukakan adalah :
Gajah mati maninggakan gadieng
Harimau mati maninggakan baling
Manusia mati maninggakan namo
Dengan
pengertian, bahwa orang Minangkabau itu hidupnya jangan seperti hidup
hewan yang tidak memikirkan generasi selanjutnya, dengan segala yang
akan ditinggalkan setelah mati. Karena itu orang Minangkabau bekerja
keras untuk dapat meninggalkan, mempusakakan sesuatu bagi anak kemenakan
dan masyarakatnya. Mempusakakan bukan maksudnya hanya dibidang materi
saja, tetapi juga nilai-nilai adatnya. Oleh karena itu semasa hidup
bukan hanya kuat mencari materi tetapi juga kuat menunjuk mengajari anak
kemenakan sesuai dengan norma-norma adat yang berlaku. Ungkapan adat
juga mengatakan “Pulai batingkek naiek maninggakan rueh jo buku, manusia
batingkek turun maninggakan namo jo pusako”.
Dengan adanya
kekayaan segala sesuatu dapat dilaksanakan, sehingga tidak mendatangkan
rasa malu bagi dirinya ataupun keluarganya. Banyaknya seremonial adat
seperti perkawinan dan lain-lain membutuhkan biaya. Dari itu usaha yang
sungguh-sungguh dan kerja keras sangat diutamakan. Orang Minangkabau
Nilai hidup
yang baik dan tinggi telah menjadi pendorong bagi orang Minangkabau
untuk selalu berusaha, berprestasi, dinamis dan kreatif.
2. Pandangan Terhadap Kerja
Sejalan
dengan makna hidup bagi orang Minangkabau, yaitu berjasa kepada kerabat
dan masyarakatnya, kerja merupakan kegiatan yang sangat dihargai. Kerja
merupakan keharusan. Kerjalah yang dapat membuat orang sanggup
meninggalkan pusaka bagi anak kemenakannya. Dengan hasil kerja dapat
dihindarkan “Hilang rano dek panyakik, hilang bangso indak
barameh”(hilang warna karena penyakit, hilsng bangsa karena tidak
beremas). Artinya harga diri seseorang akan hilang karena miskin, oleh
sebab itu bekerja keras salah satu cara untuk menghindarkannya.
Dengan adanya
kekayaan segala sesuatu dapat dilaksanakan sehingga tidak mendatangkan
rasa malu bagi dirinya atau keluarganya. Banyaknya seremonial adat itu
seperti perkawinan membutuhkan biaya. Dari itu usaha yang
sungguh-sungguh dan kerja keras sangat diutamakan. Orang Minangkabau
disuruh untuk bekerja keras, sebagaimana yang diungkapkan juga oleh
fatwa adat sbb:
Kayu hutan bukan andaleh Kayu hutan bukan andalas
Elok dibuek ka lamari Elok dibuat untuk lemari
Tahan hujan barani bapaneh Tahan hujan berani berpanas
Baitu urang mancari rasaki Begitu orang mencari rezeki
Dari etos
kerja ini, anak-anak muda yang punya tanggungjawab di kampung disuruh
merantau. Mereka pergi merantau untuk mencari apa-apa yang mungkin dapat
disumbangkan kepada kerabat dikampung, baik materi maupun ilmu. Misi
budaya ini telah menyebabkan orang Minangkabau terkenal dirantau sebagai
makhluk ekonomi ulet.
Etos kerja
keras yang sudah merupakan nilai dasar bagi orang Minangkabau
ditingkatkan lagi oleh pandangan ajaran Islam yang mengatakan orang
harus bekerja keras seakan-akan dia hidup untuk selama-lamanya, dia
harus beramal terus seakan-akan dia akan mati besok.
3. Pandangan Terhadap Waktu
Bagi orang
Minangkabau waktu berharga merupakan pandangan hidup orang Minangkabau.
Orang Minangkabau harus memikirkan masa depannya dan apa yang akan
ditinggalkannya sesudah mati. Mereka dinasehatkan untuk selalu
menggunakan waktu untuk maksud yang bermakna, sebagaimana dikatakan
“Duduak marauik ranjau, tagak maninjau jarah”.
Dimensi
waktu, masa lalu, masa sekarang, dan yang akan datang merupakan ruang
waktu yang harus menjadi perhatian bagi orang Minangkabau. Maliek contoh
ka nan sudah. Bila masa lalu tidak menggembirakan dia akan berusaha
untuk memperbaikinya. Duduk meraut ranjau, tegak meninjau jarak
merupakan manifestasi untuk mengisi waktu dengan sebaik-baiknya pada
masa sekarang. Membangkit batang terandam merupakan refleksi dari masa
lalu sebagai pedoman untuk berbuat pada masa sekarang. Sedangkan
mengingat masa depan adat berfatwa “bakulimek sabalun habih, sadiokan
payuang sabalun hujan”.
4. Hakekat Pandangan Terhadap Alam
Alam
Minangkabau yang indah, bergunung-gunung, berlembah, berlaut dan
berdanau, kaya dengan flora dan fauna telah memberi inspirasi kepada
masyarakatnya. Mamangan, pepatah, petitih, ungkapan-ungkapan adatnya
tidak terlepas daripada alam.
Alam
mempunyai kedudukan dan pengaruh penting dalam adat Minangkabau,
ternyata dari fatwa adat sendiri yang menyatakan bahwa alam hendaklah
dijadikan guru.
Yang dimaksud
dengan adat nan sabana adat adalah yang tidak lapuak karena hujan dan
tak lekang karena panas biasanya disebut cupak usali, yaitu
ketentuan-ketentuan alam atau hukum alam, atau kebenarannya yang datang
dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu adat Minangkabau falsafahnya
berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan dalam alam, maka adat
Minangkabau itu akan tetap ada selama alam ini ada.
5. Pandangan Terhadap Sesama
Dalam hidup
bermasyarakat, orang Minangkabau menjunjung tinggi nilai egaliter atau
kebersamaan. Nilai ini menyatakan mereka dengan ungkapan “Duduak samo
randah, tagak samo tinggi”.
Dalam
kegiatan yang menyangkut kepentingan umum sifat komunal dan kolektif
mereka sangat menonjol. Mereka sangat menjunjung tinggi musyawarah dan
mufakat. Hasil mufakat merupakan otoritas yang tertinggi.
Kekuasaan
yang tertinggi menurut orang Minangkabau bersifat abstrak, yaitu nan
bana (kebenaran). Kebenaran itu harus dicari melalui musyawarah yang
dibimbing oleh alur, patut dan mungkin. Penggunaan akal sehat diperlukan
oleh orang Minangkabau dan sangat menilai tinggi manusia yang
menggunakan akal. Nilai-nilai yang dibawa Islam mengutamakan akal bagi
orang muslim, dan Islam melengkapi penggunaan akal dengan bimbingan
iman. Dengan sumber nilai yang bersifat manusiawi disempurnakan dengan
nilai yang diturunkan dalam wahyu, lebih menyempurnakan kehidupan
bermasyarakat orang Minangkabau.
Menurut adat
pandangan terhadap seorang diri pribadi terhadap yang lainnya hendaklah
sama walaupun seseorang itu mempunyai fungsi dan peranan yang saling
berbeda. Walaupun berbeda saling dibutuhkan dan saling membutuhkan
sehingga terdapat kebersamaan. Dikatakan dalam mamangan adat “Nan buto
pahambuih lasuang, nan pakak palapeh badie, nan lumpuah paunyi rumah,
nan kuek pambaok baban, nan binguang kadisuruah-suruah, nan cadiak lawan
barundiang. Hanya fungsi dan peranan seseorang itu berbeda dengan yang
lain, tetapi sebagai manusia setiap orang itu hendaklah dihargai karena
semuanya saling isi mengisi. Saling menghargai agar terdapat
keharmonisan dalam pergaulan, adat menggariskan “nan tuo dihormati, samo
gadang baok bakawan, nan ketek disayangi”. Kedatangan agama Islam
konsep pandangan terhadap sesama dipertegas lagi.
Nilai
egaliter yang dijunjung tinggi oleh orang Minangkabau mendorong mereka
untuk mempunyai harga diri yang tinggi. Nilai kolektif yang didasarkan
pada struktur sosial matrilinial yang menekankan tanggungjawab yang luas
seperti dari kaum sampai kemasyarakatan nagari, menyebabkan seseorang
merasa malu kalau tidak berhasil menyumbangkan sesuatu kepada kerabat
dan masyarakat nagarinya. Interaksi antara harga diri dan tuntutan
sosial ini telah menyebabkan orang Minangkabau untuk selalu bersifat
dinamis.
sumber: azizfamily.wordpress.com
Comments