Lima orang pandai besi berusia di atas 40-an tahun berpeluh pada salah satu bengkel kerja yang tersisa di Jorong Limo Suku, Nagari Sungai Pua, Kecamatan Sungai Pua, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Kamis (7/4). Pada bengkel kerja pandai besi yang sesungguhnya dapat menampung hingga 10 pekerja itu terdapat sejumlah mesin yang teronggok terdiam begitu saja tanpa suara.

Hanya bunyi beberapa unit gerinda yang memekakkan telinga memecah kesunyian jorong tersebut pada terik siang yang sepi. Bengkel kerja pandai besi itu Dua Saudara namanya. Bengkel dikelola sepasang saudara, Suharman (42) dan Zulfan (50), yang siang itu ikut bekerja bersama Usen (49), Iwan (55) yang terhitung masih sekeluarga dan Ali Unir (56) yang bukan anggota keluarga Suharman.

”Awas kena percikan api,” kata Iwan sembari mengubah posisi badannya sebelum mulai menggerinda sebilah golok. Zulfan dan Usen mengambil posisi sama pada alat gerinda yang berbeda, sementara Ali Unir memilih rehat sejenak di luar bengkel sembari memandangi jalanan yang melompong.

Setiap hari mereka bekerja mulai pukul 07.30 hingga pukul 17.00, diselingi waktu istirahat antara pukul 12.00-13.00 untuk mengejar target pesanan rupa-rupa alat ataupun suku cadang berbahan logam. ”Dulu jorong ini ramai. Bunyi tang-teng- tong di mana-mana dan membuat semangat. Sekarang kalau mesin gerinda di bengkel ini mati, jorong ini sepi seperti tidak ada kehidupan,” kata Suharman sembari menirukan bunyi logam yang beradu.

Ia mengatakan, lebih dari seratus buah bengkel kerja yang bisa membuat beragam alat pertanian, alat perkebunan, suku cadang industri, mesin cetak, dan aneka produk logam lainnya masih eksis dan aktif berproduksi hingga sekitar sepuluh tahun lalu. Kini, hanya sekitar 30 buah bengkel kerja saja yang masih berproduksi.

Untuk bengkel yang masih bertahan pun harus mengurangi tenaga kerja. Hingga sepuluh tahun lalu, Suharman masih mempekerjakan hingga 10 orang dan kini terpaksa dikurangi menjadi tiga orang saja, tidak termasuk dirinya dan Zulfan.

Omzet mingguannya juga melorot drastis, dari Rp 20 juta per pekan pada masa sepuluh tahun lalu menjadi hanya Rp 10 juta per minggu saat sekarang. ”Padahal, itu tanpa hitung-hitungan inflasi dan sebagainya,” kata Suharman.

Kurangnya regenerasi tenaga kerja yang dipicu makin kurangnya pesanan akibat didesak produk serupa buatan China membuat banyak pandai besi mundur teratur. Sebagian memilih beralih ke bidang usaha konfeksi, sementara generasi mudanya merantau.

”Regenerasi pandai besi di jorong ini tidak ada lagi, pandai besi sekarang rata-rata berusia di atas 40 tahun semua,” kata Suharman. Ia mencontohkan, saat ini saja belasan kemenakannya tidak ada satu pun yang tinggal di nagari itu, tetapi memilih merantau ke sejumlah daerah.

Sementara mengenai produk buatan China, ia mencontohkan sebuah cangkul produksi bengkelnya yang seharga Rp 30.000, sementara produk serupa buatan China hanya ditawarkan Rp 20.000 per unit. Ia menambahkan, BUMN yang bergerak di bidang industri semen dan dahulu memercayakan sejumlah suku cadang mesin pada produk dari bengkelnya juga mulai beralih pada produk-produk China.

Adapun soal ketersediaan bahan baku, pandai besi di nagari itu tidak bisa mendapatkannya langsung dari pabrik baja, melainkan harus lewat beberapa agen sehingga harganya jadi berlipat dan membuat produk mereka semakin sulit bersaing di pasaran. ”Sekarang ini saya hanya sebatas menjalin hubungan dengan pelanggan-pelanggan lama,” kata Suharman.

Wali Nagari Sungai Pua, Feri Adrianto, mengatakan, mahalnya bahan baku dan teknologi yang terbatas menjadi sebab lain mundurnya industri logam di nagari yang beroleh penghargaan sebagai nagari terbaik pada 2009 itu

sumber : pelaminanminang

Comments