Islam dan adat minangkabau

Sebelum masuknya Islam, adat Minangkabau tidak mengenal ajaran “spiritisme-animisme” apapun. Ajaran “spiritisme-animisme” adalah ajaran yang berhubungan dengan pemujaan terhadap roh nenek moyang, dan kepercayaan bahwa benda-benda alam seperti pohon-pohon, gua, gunung, dan lain-lain benda mempunyai roh. Oleh karena itu, orang Minang hampir tidak mengenal tempat-tempat sakti atau kuburan yang dikeramatkan (Amir, 2003: 119).



Menurut Nasroen (1957: 22), adat Minangkabau itu telah ada jauh sebelum masyarakatnya mengenal ajaran Islam. Nenek moyang orang Minangkabau menyusun adat istiadat dari perenungan terhadap alam dan semesta. Hal itu terlihat dari filosofi adat Minang berikut:

Panakiak pisau sirauik
Ambiak galah batang lintabuang
Silodang ambiak ka niru
Nan satitiak jadikan lauik
Nan sakapa jadikan gunuang
Alam takambang jadikan guru

(Penakik pisau siraut
Ambil galah batang lintabung
Selodang ambil untuk niru
Yang setetes jadikan laut
Yang sekepal jadikan gunung
Alam terkembang jadikan guru)

(Hakimy, 1997:2).

Filosofi berguru pada alam tersebut menjadikan masyarakat Minangkabau dapat mendayagunakan hukum alam (sunatullah) sebagai sumber pelajaran untuk menata kehidupannya. Adat Minangkabau pun disusun berupa ajaran budi dan pekerti yang bertujuan untuk mengatur perilaku sosial dan individual agar sesuai dengan hukum alam itu (Salmadanis, 2003: 12). Ketika Islam masuk ke Minangkabau, aturan adat yang berupa ajaran budi dan budi pekerti itu tidak ada yang harus diubah karena tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Islam hanya menambahkan unsur kepercayaan saja, yaitu percaya pada ke-Esaan Allah (SWT) SWT yang menciptakan dan mengatur alam semesta (Salmadanis, 2003: 13).

Menurut Amir (2003: 121), Islam masuk ke Minangkabau secara bergelombang sejak abad ke-7 hingga akhir abad ke-17. Penyebaran Islam di Minangkabau ini dilakukan melalui proses integrasi damai yang disebut juga dengan istilah Islamisasi kultural. Hal itu berarti adanya percampuran antara ajaran Islam dan aturan adat. Adat yang telah ada hanya menyesuaikan aturannya dengan aturan Islam. Salah satunya dapat dilihat pada susunan pemerintahan istana yang mulai diatur dengan berdasarkan pada Hukum Islam dan Hukum Adat. Raja dijadikan “tiga selo (tiga sela),” yaitu Raja Alam, Raja Adat, dan Raja Ibadat. Pembesar-pembesar kerajaan dijadikan “ampek balai (empat balai),” dua menjaga adat-istiadat lama, dan dua lagi menyebarkan dan menunjukkan bahwa negeri Minang sudah Islam (Hamka, 1984: 10).

Karena kuatnya hubungan antara adat dan Islam, Islam pun kemudian menjadi “identitas etnis” orang Minangkabau. Artinya, jika seseorang mengaku sebagai orang Minang, pasti ia Islam, sebaliknya jika tidak Islam jangan mengaku sebagai orang Minang. Hal ini tertuang dalam pepatah adat, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah); syarak mangato, adat mamakai (syarak mengatakan, adat menggunakan) (Amir, 1998: 24).

Di Minangkabau, perayaan hari-hari besar agama Islam dirayakan dengan meriah, seperti saat Maulid Nabi, Israk Mikraj, Idul Fitri, Idul Adha, dan Nuzul Quran. Dalam perayaan tersebut orang-orang memasak makanan tradisional Minang, seperti Lamang Tapai dan Gulai Surau. Selain itu juga ditampilkan kesenian-kesenian yang bernuansa Islam, yang pada awalnya adalah salah satu sarana untuk menyebarkan agama Islam. Kesenian tersebut antara lain Badikia, Baikayaik, dan Salawat Dulang. Dalam perayaan hari besar agama Islam tersebut kesenian yang lebih sering ditampilkan adalah Salawat Dulang.

sumber: regional minang(kaskus)

Comments