“Zaman sekarang punya anak banyak itu berat. Lebih baik punya
anak dua tapi berkualitas, dari pada punya anak empat atau enam tapi
kita tidak mampu membiayai pendidikannya secara layak!”
Ungkapan senada kerap kita dengar di tengah masyarakat. Sebuah
indikasi bahwa umumnya masyarakat hanya berani berinvestasi dengan dua
anak dari pada empat, lima, apalagi sepuluh anak! Kenapa? Banyak Anak
Merepotkan? Saat ini, banyak pasangan keluarga muda di Indonesia
memiliki pandangan bahwa punya anak itu cukup dua saja. Anak tiga saja
sudah kebanyakan. Ada berbagai faktor mereka berpandangan demikian.
Diantaranya karena merasa repot mengurusnya, berat membiayai hidupnya,
takut tak bisa menyekolahkannya, khawatir tidak bisa mendidiknya,
kesibukan ibu kerja, atau pertimbangan umur karena nikah telat. Yati
(30 tahun), ibu dua anak yang masih balita mengungkapkan keluhannya:
“Udah ah, nggak mau nambah anak lagi, ngurus dua anak saja repot banget,
berantem melulu, nggak kebayang kalau tambah lagi, bisa stress!”. Lain
lagi dengan Ibu Kris (35 tahun), dua anaknya sudah beranjak dewasa.
Merasa kesepian ketika ditinggal sekolah anak-anaknya, Ibu Kris masih
berharap punya bayi lagi. “Bisa untuk hiburan”, demikian tuturnya.
Namun, suami Ibu Kris tak sepakat. Tak jelas kenapa, tetapi Ibu Kris
menduga suaminya yang PNS mungkin mempertimbangkan gaji yang hanya cukup
untuk membesarkan dua anaknya. “Suami saya ingin kalau nanti sudah
pensiun, dua anak kami sudah selesai kuliah semua, dan ingin lebih
banyak ibadah saja”, demikian bu Kris mengaminkan harapan suaminya.
Kenyataan ini berbeda dengan orang tua di era tahun 60/ 70-an. Mereka
memegang pesan yang diwariskan orang tuanya dulu. “Banyak anak banyak
rejeki!” begitu kata orang tua dulu. Itu sebab mereka tak pernah takut
punya anak banyak, tak khawatir tidak dapat memberi makan, dan tak
mengeluh direpotkan oleh anak-anaknya yang nakal. Bahkan, keikhlasannya
menerima anugerah anak banyak, menyebabkan tangannya tak pernah berhenti
bertengadah, mendo’akan anak-anaknya kelak menjadi manusia yang berguna
bagi agama, bangsa dan negaranya. Perbedaan presepsi, ketrampilan
mengurus dan mendidik anak, serta keyakinan terhadap jaminan rejeki
Allah kepada setiap anak, menjadi kunci bagi orang tua memandang bahwa
punya anak banyak akan merepotkan atau tidak. Dari ketiga faktor ini ada
orang tua yang secara sadar atau tidak memandang bahwa punya anak itu
adalah harapan sekaligus ancaman. Namun, dengan pemahaman agama yang
benar, akan membimbing kita untuk memandang bahwa anak adalah anugerah,
amanah dan aset masa depan Islam. Kepunahan Generasi Terlalu sempit
bila orang berpikir bahwa anak hanyalah aset bagi masa depan keluarganya
saja. Seolah anak hanya dijadikan sebagai simbol pewaris kekayaan,
martabat, kehormatan dan tahta sebuah keluarga atau marga. Bila
demikian, maka spirit untuk memiliki keturunan didasarkan pada keinginan
individu disesuaikan dengan kondisi keluarganya saja. Sehingga,
eksistensi anak dipandang sekedar sebagai penerus tradisi keluarga. Di
zaman arus globalisasi tanpa batas dan sikap individualisme yang semakin
nyata di masyarakat, tentu spirit ini sangat rentan dan bisa berdampak
terhadap punahnya sebuah generasi. Terbukti di beberapa negara maju
kini tengah menghadapi krisis populasi. Austria, Swedia, dan beberapa
Negara Eropa Barat mengalami apa yang dinamakan The Ageing of Europe.
Jumlah penduduknya akan didominasi orang-orang usia lanjut. Rendahnya
angka kelahiran di Negara-negara tersebut menimbulkan persoalan
kurangnya generasi muda dan tenaga kerja usia produktif. Austria
misalnya, pada tahun 2030 membutuhkan tenaga kerja imigran sebesar
100.000 di bidang sosial dan kesehatan. Sebuah lembaga riset di Jepang
menyatakan bahwa populasi di Jepang akan berkurang sepertiga pada tahun
2050. Dan pada tahun 2105 jumlah orang Jepang di dunia tinggal 44 juta.
Total rasio kelahiran yang terus merosot (1,37 di tahun 2008), jauh dari
rasio pertumbuhan penduduk yang dapat mendukung kestabilan populasi
berkesinambungan (2,1). Jepang bisa dikategorikan sebagai decaying
country, atau Negara yang menuju pada kepunahan. Karena itu pemerintah
Jepang membuat berbagai program, salah satunya tunjangan sebesar 26.000
yen (sekitar 2,6 juta) per bulan per anak agar perempuan Jepang mau
punya anak. Anak, Aset Kejayaan Islam Spirit memiliki anak sebagai
aset masa depan sebuah peradaban telah diisyaratkan oleh Rasulullah saw
dalam sabdanya: “Menikahlah dan perbanyaklah keturunan! Sebab aku akan
membanggakan kalian di hadapan umat-umat lain kelak di hari kiamat.”
Spirit itulah yang menyebabkan dari generasi ke generasi umat Islam
mempunyai kebanggaan untuk memiliki keturunan yang banyak. Anak banyak
bukan untuk kebanggaan diri atau keluarga, tapi untuk diinvestasikan
bagi kejayaan peradaban Islam, sebagaimana harapan Rasulullah saw. Pun
pasangan suami isteri yang tak dianugerhi anak, mereka tetap memiliki
spirit untuk membina anak-anak kaum muslimin lainnya dengan berbagai
cara. Dengan kehendak Allah SWT, jumlah kaum muslimin yang mewarisi
peradaban Islam tak pernah berkurang, bahkan terus bertambah.
Berdasarkan studi Pew Forum on Religion & Public Life dalam
laporannya yang berjudul “Mapping the Global Muslim Population” penduduk
muslim telah mencapai 1,57 milyar (23 % dari penduduk dunia yang
diperkirakan sebesar 6,8 milyar). Pemetaan ini cukup mengejutkan, karena
hanya di Eropa Barat saja jumlah umat muslim berasal dari imigran,
sementara separoh lebih muslim Eropa adalah penduduk asli di Eropa
Timur. Kini, dunia Barat sangat mengkhawatirkan ledakan populasi umat
Islam yang diprediksi akan mendominasi penduduk dunia. Lalu apa yang
harus kita lakukan untuk mempersembahkan kebanggaan pada Rasulullah saw?
Jawabannya adalah, jangan pernah takut memiliki keturunan banyak, sebab
kebangkitan dan kejayaan Islam membutuhkan generasi Islam yang banyak
dan tangguh, menggentarkan musuh-musuh Allah yang menghalangi kebenaran
Islam. Mari kita persiapkan pembinaan sebaik-baiknya untuk anak-anak
agar menjadi asset peradaban yang gemilang.
sumber: http://blog.sunan-ampel.ac.id
Related Posts
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Comments